Merdeka Berserikat, Berkumpul, dan Menyampaikan Pendapat
dedikasi.id – Hampir dua tahun pandemi Covid-19 melanda dunia, tak terkecuali Indonesia. Namun, hingga kini pemulihan yang signifikan belum begitu terlihat setelah kasus kembali naik karena munculnya varian baru Covid-19. Tua, muda, miskin, kaya, pejabat, rakyat biasa semua menjadi korbannya. Keprihatinan ini seiring dengan jelang dua tahun Jokowi-Ma’ruf menjalankan kepemerintahannya, yang artinya kini adalah tahun kedua di periode kedua Jokowi. Ada banyak cerita dan kejadian yang tentu menyita dan menguras tenaga, emosi, dan pikiran seluruh lapisan masyarakat.
Berbagai kebijakan yang dibuat pada periode kedua Jokowi ini seringkali menimbulkan kontroversi dan kehebohan di masyarakat. Padahal, kebijakan ini bisa saja disikapi dengan baik jika semua bersedia duduk bersama demi kemaslahatan rakyat. Sempat ditemukan celetukan pada media sosial, “Kalau kebijakan ini gagal, ya, ganti istilah”, celetukan ini muncul saat pemerintah mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali. Mungkin kita akan terus mengingat berbagai istilah yang beberapa kali berganti nama, namun dampaknya belum terasa signifikan. Mulai dari PSBB, PSBB transisi, PPKM Darurat, hingga PPKM Level 1-4. Entah akan berganti nama apalagi nanti.
Tak hanya kebijakan yang kadang membuat jengkel, namun oknum petingginya juga. Sebut saja kasus Djoko Tjandra, menjadi buronan selama 11 tahun dengan kasus kelas kakap dan penangkapannya pun cukup menghebohkan. Vonis terbaru ia dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara, namun di potong masanya menjadi 3,5 tahun kurungan. Apakah hukuman yang terus didiskon ini setara dengan kerugian negara? Lagi, kasus jaksa Pinangki yang awalnya dijatuhi hukuman 10 tahun, dipotong menjadi 4 tahun dengan alasan: dirinya perempuan, mempunyai balita, dan perempuan harus dilindungi. Lalu, bagaimana dengan seorang ibu di Aceh Utara yang dipenjara dan terpaksa harus membawa anaknya ikut bersamanya? Ada pula jaksa yang mengatakan, tersebab Pinangki telah mengembalikan mobil pada negara turut mempengaruhi potongan tersebut. Alasan yang sangat membingungkan dan tak masuk akal.
Yang paling menghebohkan dan membuat miris yakni dua menteri Jokowi yang terbukti melakukan korupsi dengan kasus berbeda di waktu yang sama yakni Menteri Kelautan dan Perikanan terkait izin ekspor benih lobster yang pada era sebelumnya dilarang. Ada juga Menteri Sosial Juliari Batubara dengan kasus korupsi bansos yang merugikan Rp 17 miliar. Padahal, masih segar di ingatan kita tentang pernyataan ketua KPK, “siapapun yang melakukan korupsi di tengah bencana akan di hukum mati”, tapi faktanya ia hanya divonis 11 tahun penjara. Yang lebih miris lagi, vonis ini dijatuhkan oleh hakim dari KPK sendiri.
Satu lagi kekonyolan yang nampaknya dipertontonkan dengan jelas oleh pemerintah yakni terkait penangan pandemi. Ada pertanyaan besar saat pemerintah mengumumkan PPKM Darurat. Jika memang kebijakan ini diambil karena kondisi kita sedang benar-benar darurat, mengapa bukan Presiden sendiri yang mengomandani permasalahan ini? Atau mengapa bukan Pak Budi Gunadi Sadikin selaku Menteri Kesehatan? Mengapa harus Menko Maritim dan Investasi?
Yang cukup menggelitik yakni pernyataan Pak Menko terkait penanganan pandemi ini bahwa kondisi kita terkendali. Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan presiden yang mengatakan situasi kita belum terkendali. Hingga akhirnya pak Menko seakan menjilat ludah sendiri dengan mengubah statement bahwa kondisi kita belum terkendali akibat munculnya varian baru Covid-19.
Berbagai kebijakan yang krusial baik mengenai pandemi maupun di luar itu, tentu memicu berbagai pihak untuk menyuarakan aspirasinya. Namun, tampaknya negeri kita tidak hanya sakit karena pandemi, tetapi juga disebabkan sekaratnya demokrasi. Suatu waktu pemerintah mengaku rindu kritikan dan demonstrasi, tapi faktanya saat demonstrasi berlangsung pun alih-alih ditemui oleh pejabat Istana, yang ada hanya tindakan represif dari aparat. Bersuara di media sosial pun diancam dengan UU ITE, ditambah lagi BuzzerRp yang terus berkoar menyerang siapapun yang kontra dengan penguasa. Sampai-sampai salah satu kader partai pendukung pemerintah di salah satu talkshow mengatakan bahwa Presiden adalah simbol negara, hal ini jelas keliru.
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 disebutkan ‘empat simbol’ negara, yakni Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Presiden tidak masuk di dalamnya. Adapun khusus untuk ‘Lambang Negara’, istilah itu melekat khusus untuk Garuda Pancasila saja.
Kemudian, di masa sulit ini berbagai cara diekspresikan untuk mengungkapakan rasa lelah dan kecewa, salah satunya melalui mural, namun polisi malah memburu pembuat mural, seperti mural Jokowi 404 Not Found.
Apakah seperti ini wajah negeri demokrasi? Apakah seperti ini wajah negeri yang sudah merdeka sejak 76 tahun yang lalu?
Terakhir, kita semua tentu berharap semoga negara tercinta ini kembali pulih dari segala sisi, mari kita jaga Indonesia kita. Untuk mengakhiri tulisan ini, izinkan saya mengutip penggalan lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya,
Suburlah tanahnya
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, rakyatnya, semuanya
Sadarlah hatinya,
Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.
(Lagu Kebangsaan Indonesia Raya stanza 2)
S’lamatlah rakyatnya,
S’lamatlah putranya,
Pulaunya. Launtnya, semuanya,
Majulah negerinya,
Majulah Pandunya,
Untuk Indonesia Raya
(Lagu Kebangsaan Indonesia Raya stanza 3)
Dirgahayu Indonesiaku
Panjang Umur Perjuangan
Baca juga artikel terkait Opini menarik lain di dedikasi.id
Penulis: M.I.R
Editor: Can/L