Sebuah catatan kontemplatif dari sosok Otaku kemarin sore.
dedikasi.id – Masyarakat di sekitar kita memang unik, ya? Mereka ramah, tapi juga begitu tegas pada hal-hal tertentu. Mereka kerap diberi sebutan agamis, terutama bagi yang bermukim di desa. Namun, tak jarang mendapat kritik tentang sikap konservatif mereka dalam menyikapi banyak hal. Padahal, jika dikupas sedikit lebih dalam, terungkaplah bahwa anggapan mereka berakar dari kesalahpahaman. Kasus inilah yang banyak terjadi di Indonesia, salah satunya stigma khalayak terhadap Wibu.
Term Wibu memang belum resmi terdaftar dalam entri baru Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tapi bagi masyarakat yang aktif berselancar di media sosial, term ini sudah populer dan familiar. Wibu adalah kata serapan dari Bahasa Inggris, weeaboo yang—secara garis besar—merujuk pada orang yang terobsesi pada pop culture Jepang, terutama manga dan anime. Hal itu membuat mereka bertingkah seperti orang Jepang itu sendiri. Istilah ini pertama kali diperkenalkan Nicholas Gurewitch melalui salah satu komiknya yang bertajuk Perry Bible Fellowship. Istilah ini kemudian diserap dan menggantikan Wapanese, istilah lama yang bermakna sama dengan Wibu.
Sebelum dilanjutkan, saya harus tekankan satu hal: opini ini tidak dibuat dengan dalih membela Wibu dan—berbarengan dengan itu—mencela masyarakat, atau hal-hal yang senada dengannya. Tulisan yang vokal bagi saya adalah tulisan yang dengan jelas menyuarakan pendapat si penulis, dan mencerahkan apa yang tadinya salah dipahami oleh khalayak umum. Opini ini dibuat untuk itu; memperjelas mengapa stigma terhadap Wibu tidak diperlukan, kemudian bagaimana semangat yang tinggi dibarengi dengan pengetahuan yang dangkal bisa begitu berbahaya bagi masyarakat.
Terus terang, umur saya berkecimpung dalam dunia otaku[1] masih amat hijau, bahkan belum genap setahun. Ya, saya menonton Naruto sejak kecil, tapi saya baru menonton banyak anime sejak Juli tahun lalu. Sekalipun masih sebentar, mudah bagi saya untuk mengidentifikasi bagaimana perspektif umum masyarakat terhadap Wibu. Istilah Wibu dan Otaku, terutama Wibu, acap kali disandingkan dengan label malas, asosial, kurang pergaulan, dan bahkan—maaf—sampah masyarakat, serta beragam ciri negatif lainnya yang bisa Anda temukan di internet, artikel, serta—yang paling mudah sekaligus cepat—kolom komentar media sosial.
Tentu, pendapat yang demikian sah dan boleh-boleh saja dikemukakan, toh Indonesia adalah negara demokratis yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Namun, yang saya sayangkan dari fenomena yang telah berlangsung begitu lama ini adalah fakta memprihatinkan bahwa masyarakat kita tidak benar-benar memahami apa yang mereka nilai. Masyarakat kita punya semangat yang tinggi untuk menilai, tapi melempem bila ditanya soal kepahaman tentang hal yang dinilai. Setelah mengemukakan opini demikian, satu pertanyaan pun muncul: mengapa kita mudah sekali menghakimi?
Profesor Otto Scharmer, penulis buku Theory U: Leading from the Future as It Emerges, menyebutkan tiga komponen yang kurang lebih menjawab pertanyaan tersebut, yaitu voice of judgement, voice of cynism, dan voice of fear. Komponen pertama, voice of judgement, membuat kita terjebak dalam wawasan yang sempit dan cenderung memaksakan sudut pandang kita sendiri dengan bayang-bayang seolah kita tengah berpikir kritis, padahal aslinya judgemental. Selanjutnya, voice of cynism, membuat kita terjebak dalam kacamata kuda, membuat kita menciptakan sentimen negatif dengan penolakan terhadap pendapat kelompok atau individu yang berbeda dengan pendapat kita, seolah pendapat kita adalah satu-satunya kebenaran mutlak yang harus diikuti semua orang. Terakhir, voice of fear, membuat kita takut berinteraksi secara terbuka pada sesuatu yang asing dan baru dengan kita, mirip dengan gejala xenofobia. Tiga unsur memblokade diri kita untuk berpikir terbuka, dan akhirnya menyebabkan kita amat mudah melempar penilaian, bahkan meski tidak mengerti dengan baik apa yang kita nilai. Saya pribadi setuju dengan pendapat Scharmer tentang tiga suara ini, karena selain kredibel, ia juga masuk akal. Akan tetapi, bagaimana dengan solusi yang ia tawarkan?
Profesor Schammer mempunyai ide membuka pikiran (open mind), membuka hati (open heart), dan memperbesar tekad (open will) untuk mengatasi tiga aspek di atas, dan pendapat saya akan sedikit melengkapi ide tersebut. Benar, tiga “resep” itu efektif dan sudah diakui oleh para pakar, termasuk psikolog yang juga merupakan putri sulung Gus Dur, Ning Alissa Wahid. Namun, dalam opini saya, ketiga “resep” itu harus dibarengi dengan satu hal penting: literasi.
Kita bisa mengasah kembali literasi kita yang tumpul. Sebagaimana wahyu yang pertama kali turun pada Nabi Muhammad, Iqra’, yang merupakan fi’il amar yang berarti perintah untuk membaca. Saya percaya wahyu ini masih—dan akan senantiasa—relevan untuk mengatasi beragam masalah di negeri yang delapan puluh lima persen lebih penduduknya beragama Islam ini. Jika literasi dalam masyarakat Indonesia telah meningkat, saya percaya keterbukaan pikiran, hati, dan tekad yang disebutkan Profesor Schammer juga akan terwujud. Tentu saja, saya sepenuhnya sadar bahwa meningkatkan literasi di Indonesia tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kita butuh perjuangan keras, dan proses itu tidak hanya akan melelahkan dan berat, tapi juga menuntut konsistensi yang kukuh. Namun, mau tidak mau, literasi akan selalu dibutuhkan untuk menjernihkan perspektif masyarakat, sehingga miskonsepsi seperti kasus Wibu yang telah saya sebutkan di awal tidak perlu terjadi.
Wabakdu, saya berharap opini singkat ini dapat sedikit membenahi stigma stereotipikal masyarakat tentang komunitas Wibu maupun Otaku. Saya sama sekali tak berniat memaksa, atau mendikte bahwa Wibu dan Otaku adalah komunitas yang harus dicintai khalayak umum. Jika setelah membaca opini ini, dan benar-benar telah tahu apa itu Wibu dan Otaku, tetapi masyarakat masih berhasrat memberinya ciri negatif, tentu itu sah-sah saja, karena sejatinya keputusan akhir tetap berada di tangan massa. Opini ini sekadar upaya agar sekalipun pada akhirnya kita membenci, kebencian itu tidak mencederai akal sehat kita sendiri.
Baca juga artikel terkait Opini atau tulisan menarik lain di dedikasi.id
(dedikasi.id – Opini)
Penulis: Ubaidillah
*Penulis adalah mahasiswa IAIN Kediri jurusan Tadris Bahasa Inggris semester 2. Opini tersebut merupakan bagian dari lomba opini dan features dalam selebrasi Dies Natalis LPM Dedikasi ke-25.
[1] Term Otaku dan Wibu kerap tertukar dan pada akhirnya banyak dipandang sama oleh orang awam, padahal keduanya punya perbedaan besar. Otaku adalah orang yang punya satu kegemaran khusus terhadap kultur Jepang, sedang Wibu adalah orang yang punya obsesi berlebihan pada segala hal yang terkait Jepang.