(DEDIKASI.ID) – Jalinan kebatinan saya dengan Romo Sindhunata (berikutnya ditulis dengan Romo Sindhu) sebagai seorang penulis, seingat saya, dimulai sejak masa akhir kuliah di Solo (2005-2006). Anak Bajang Menggiring Angin adalah buku pertama pengikat batin saya kepada Romo Sindhu. Mengapa baru membaca satu buku karya Romo Rindhu, namun cepat terpikat dan jatuh hati? Sebab, salah satu perkembangan fase hidup saya ada irisan tebal dengan buku Anak Bajang Menggiring Angin yaitu dunia pewayangan.
Masa kecil di desa, salah satu hiburan favorit saya adalah nonton wayang. Hiburan lainnya adalah mendatangi orang hajatan yang nanggap tape melalui kaset pita untuk njoget (soul, istilah orang Mantingan, Ngawi) yang bisa dipastikan terjadi tawuran antara penjoget. Tentu, saya bukan termasuk yang tawuran, sebab, wong cilik (berbadan kecil) ngrumangsani kalahan.
Kesukaan saya terhadap wayang semakin ndodro (menjadi-jadi) ketika saya kuliah di Solo—rutin nonton wayang malam Jumat Kliwon di Taman Budaya Surakarta, sering nonton pertunjukan wayang di ISI Solo, di Karaton Solo, pun di berbagai tempat. Seolah, pada saat itu ketika saya mendengar atau mendapatkan kabar ada pertunjukkan wayang, langsung berangat. Sampai dititik, pada saat skripsi saya meneliti tentang pewayangan yaitu Ritus Ruwatan.
Buku Anak Bajang Menggiring Angin mampu membius mampus diri saya. Berbagai cerita pewayangan yang selama ini saya ketahui dan saya hayati dari pertunjukan wayang dengan sangat elok dituliskan oleh Romo Sindhu dalam bentuk novel. Isi cerita di buku tersebut kalau saya runut ke lakon-lakon pewayangan, (seingat saya) diawali dari lakon Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, atau ada juga yang melakonkan dengan Alap-alap Sukesi. Kemudian, cerita selanjutnya adalah lakon Ramayana—dimulai dari lakon Rama Lahir, lakon Anoman Lahir, lakon Sugriwa-Subali, lakon Anggada Balik, lakon Anoman Duta, lakon Kumbokarno Gugur, lakon Indrajit Gugur, sampai dengan lakon Rahwana Gugur atau ada yang melakonkan dengan Brubuh Alengka. Novel Anak Bajang Menggiring Angin adalah dunia saya, yaitu dunia pewayangan.
Perburuan buku karya Romo Sindhu berlanjut ketika saya melanjutkan kuliah di Yogya. Seorang teman yang juga seorang dalang dari Solo meminta saya untuk mencarikan buku Semar Mencari Raga. Teman saya ini berencana akan menjadikannya sebagai referensi untuk membuat naskah lakon wayang. Saya ingat betul pada masa itu, selain melacak ke Shopping Center toko buku Yogya, saya juga mendatangi perpustakaan Kolese Santo Ignatius. Setelah perburuan buku Semar Mencari Raga, beberapa buku karya Romo Sindhu menjadi salah satu menu santapan special bagi saya—Bayang-bayang Ratu Adil, Cikar Bobrok, Ilmu Ngglethek Prabu Minohek, Menyusu Celeng, dan Aburing Kupu-kupu Kuning. Buku-buku yang saya baca tersebut masih jauh dari jumlah buku yang ditulis oleh Romo Sindhu. Memang, buku karya Romo Sindhu yang say abaca hanya beberapa. Tetapi, mengapa pikatan batiniah Romo Sindhu semakin menguat.
Imam Katolik yang Berkebudayaan Jawa
Romo Sindhu adalah seorang Imam Katolik ordo Serikat Yesuit. Saya ingat, pada saat Jacob Oetama wafat (2020) Romo Sindhu memimpin ibadah misa pelepasan dan tutup peti jenazah pendiri Kompas Gramedia tersebut. Sebagai seorang Imam Katolik yang ditugasi memimpin Paroki Pakem di lereng Gunung Merapi, Sleman, Yogyakarta—Romo Sindhu membumi, berkebudayaan Jawa. Maka, dengan berani saya akan mengatakan bahwa Romo Sindhu adalah seorang Imam Katolik yang berkebudayaan Jawa.
Mari kita uji bersama, apakah keagamaan Romo Sindhu memiliki titik temu dengan agama Jawa (agami Jawi)? Pertama, konsep ketuhanan Jawa adalah konsep penghayatan terhadap Tuhan dengan adanya penyatuan antara manusia dan alam. Bahwa Tuhan, manusia dan alam tidak terpisah. Kedua, nabi merupakan sosok yang memiliki kualitas personal sempurna. Maka, di Jawa ada istilah guru nabi yaitu sosok yang memberikan bimbingan dan petunjuk spiritual kepada orang lain—kyai, sesepuh, atau bahkan suami bisa mendapatkan julukan sebagai guru nabi.
Ketiga, masyarakat Jawa memiliki pandangan bahwa alam semesta sebagai kitab suci yang digelar oleh Tuhan. Maka, tugas manusia adalah membaca semua tanda dan peristiwa yang ada di alam. Pandangan bahwa alam semesta sebagai tulisan atau sastra atau kitab Tuhan ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Romo Sindhu di dalam buku Aburing Kupu-kupu Kuning, yaitu menggahing tiyang Jawi, gesang sakwantah menika mujudaken sastra gumelar. Bagi orang Jawa, apa-apa yang ada ini sebagai wujud tulisan yang tergelar. Keempat, samadhi atau meditasi sebagai ritus dengan laku melayani kemanusiaan. Dan kelima, puncak capaian orang Jawa adalah kepasrahan total kepada Tuhan sehingga didalam menjalani hidup dengan rasa tenteram, sederhana (prasaja), ikhlas, dan bersyukur kepada ketetapan Tuhan.
Sastra Sindhunatan Pangruwating Kahanan
Mengawali sastra Sindhunata, saya akan mengawali dengan satu kutipan tembang macapat sebagai representasi sekaligus manifestasi kasusastraan Sindhunatan. Tembang macapat dhandanggula ini saya kutip dari cerita lakon wayang Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu dengan Dalang Ki Narto Sabdo.
Wedhare kang Sastra Jendra yekti
Hayuningrat Pangruwating Yaksa
Sarana kang pangruwate
Sanggya kang sifat Diyu
Prapteng watak pindha raseksi
Hambeg angkara murka
Candala ing kalbu
Hambeg siya sirna rasa
Kamanungsan durgama ingkang sinanding
Semongah ngangah angah
Tembang macapat tersebut saya jadikan sebagai representasi sekaligus manifestasi kasusastraan Sindhunatan. Bahwa sastra Sindhunata memiliki fungsi sebagai pangruwatan. Di Jawa memiliki sebuah ritus bernama Ruwatan yang bertujuan untuk membersihkan atau membebaskan individu atau suatu tempat dari hal-hal negatif—kahanan. Tujuan ruwatan tersebut sesuai dengan akar kata ruwatan yaitu dari kata ruwat yang memiliki arti luwar saka panenung atau luwar saka bebendhu paukumaning Dewa, bebas atau terlepas dari keadaan buruk atau wujud yang salah atau terbebas dari hukuman Tuhan.
Meskipun, bagi sebagian orang akan menganggap berlebihan karena saya memasukkan kasusastraan Sindhunatan sebagai fungsi pangruwatan. Tetapi, sejauh pembacaan dan penghayatan saya, fungsi pangruwatan pada karya-karya sastra Sindhunata apabila dibaca melalui prespektif sastra profetik Kuntowijoyo berada di dimensi humanisasi, liberasi dan transendensi. Nilai-nilai kenabian, hubungan manusia degan manusia, dan hubungan manusia dengan Tuhan di hampir semua karya sastra Sindhunata sangat kuat.
Ciri khas tulisan Romo Sindhunata adalah keberpihakan kepada orang-orang terpinggirkan, melakukan kritik kahanan sosial, dan njunjung duwur orang-orang kecil (wong cilik) yang setiap hari melakukan perjuangan agar mentas dari penderitaan. Kedalaman tulisan melalui filsafati sehingga sampai ke esoterik yang hakiki. Juga, dibumboni dengan penyedap rasa kerohanian, religiusitas.
Misalnya, Rama, Laksmana dan Wibisana adalah manifestasi manusia sempurna yang dituju oleh setiap manusia (ideal self). Ribuan kera dari keluarga besar Anoman yang dipimpin oleh Sugriwa adalah manifestasi dari keinginan manusia menuju manusia sempurna, namun masih setengah pencapaian (ought self). Maka perwujudannya berwujud kera. Sementara Rahwana sebagai manifestasi manusia jahat (real self). Didalam buku Anak Bajang Menggiring Angin disebutkan meditasi atau samadhi sebagai laku manusia menuju ideal self untuk mengalahkan kejahatan, real self.
Romo Sindhu menggunakan cerita pewayangan untuk memahami to be human (menjadi manusia). Rahwana yang jahat, meskipun satu orang dengan kesaktian (ajian) Poncasona memiliki dampak rusak yang maha dahsyat. Kemudian, kebanyakan orang berada dicapaian setengah manusia berwujud (ribuan) kera. Dari ribuan manusia (berwujud kera) yang berproses menjadi manusia sempurna hanya tiga orang yang berhasil di kesempurnaan yaitu Rama, Laksmana dan Wibisana.
Salah satu bait dari karya puisi Lengji Lengbeh (Celeng Siji, Celeng Kabeh), Romo Sindhunata menuliskan “… Sing apik dewe, celeng. Sing ayu dewe, celeng. Sing bagus dewe, celeng. Kabeh wong, celeng. Ora ana sing ora celeng. Sing dudu celeng, dhegleng …”. Celeng sebagai simbol dan mitos keserakahan oleh Romo Sindhunata dihayati bahwa sifat keserakahan (bisa saja) ada pada diri setiap orang.
Ilmu ngglethek seorang seniman ludruk bernama Kartolo seolah sebagai tawaran pembebasan dan pelepasan penderitaan yang disandhang wong cilik yaitu dengan menghayati bahwa hidup itu sederhana, ya begitu-begitu saja. Ke-ngglethek-an ada di balik pelbagai peristiwa hidup. Dengan ilmu ngglethek, wong-wong cilik akan dapat mengembalikan hidup yang kaku dan formal menjadi lelucon dan santai. Maka, seniman Kartolo dengan sangat mudah membuat tertawa dan menertawakan dirinya sendiri. Sing ayu, ternyata asu—ngglethek. Sing pinter, jebul keminter (aslinya bodoh)—ngglethek. Sing pejabat, ternyata bajingan (koruptor)—ngglethek. Sing wong suci, jebul sumuci-suci (perilaku-perilakunya kotor)—ngglethek. Sing urip, ngaya-aya, berusaha mati-matian agar hidup, ternyata mati—ngglethek.
Lainnya, dari karya magnum opus-nya Romo Sindhu adalah menyoal perlawanan wong cilik dan Ratu adil. Bentuk perlawanan wong cilik terhadap cita-cita kemakmuran dan kebahagiaan hidup tidak selalu diwujudkan secara vis a visa atau berhadap-hadapan nyoh dhadha ndi ndhadha atau adu fisik antara rakyat terhadap Ratu/Pimpinan/Presiden. Namun, nyingkrih, nepi, tirakat, tetirah, meneng, dan donga (doa) bagi orang Jawa juga sebagai wujud perlawanan. Bentuk perlawanan wong cilik yang lain adalah terkait dengan konsep mitologis yang diramalkan oleh Prabu Jayabaya pada masa Kerajaan Panjalu (Kediri) bahwa setelah zaman penderitaan, akan datang zaman baru penuh kemuliaan dan zaman keemasan yang ditandai oleh datangnya Ratu Adil.
Datangnya Ratu Adil menjadi pengarep-arep (harapan) bagi wong cilik ketika bolak-balik kecelik, kapusan disetiap gonta-gantinya Pemimpin/Presiden. Harapan terhadap datangnya Ratu Adil menjelma sebagai tameng “kepasrahan dan ketatagan” didalam menjalani penderitaan. Entah, kapan Ratu Adil datang. Entah, apakah Ratu Adil benar-benar akan datang atau tidak. Wong cilik terlalu pintar didalam mengolah pengarep-arep, selain dengan mulur-mungkret, wong cilik pintar membeli harapan—tuku pengarep-arep.
Baca tulisan menarik lainnya di Dedikasi.id!
Penulis : Sunarno (Dosen Psikologi IAIN Kediri dan Pembina LPM Dedikasi)