dedikasi.id – Di negara berkembang ini tak akan ada habisnya jika menyoal tentang Kpop dan drakor, penggemar dan penghujat sama-sama banyaknya. Alasan kaum yang membenci Kpop mungkin merasa muak dengan kelakuan liar para fansnya yang aneh, lebai, posting sana-sini, bahkan sampai berhalu jika jajaran Kpop adalah suaminya yang tertera di kartu keluarga. Walaupun begitu para kader Kpopers dari seluruh penjuru mata angin tetap istiqomah tanpa tuma’ninah untuk selalu menjunjung tinggi derajat idolanya. Lantas barangsiapa yang berani menghina, mengolok-olok, menebar kebencian terhadap personil Kpop dan drakor maka bersiap-siaplah diserbu massanya dari seluruh penjuru dunia, Ngeri.
Mayoritas penganut aliran Kpopers rata-rata adalah usia remaja calon pemimpin penerus bangsa yang menganggap idolanya adalah gambaran wujud dari manusia sempurna. Oke, disini bukan berarti saya membenci Kpop dan drakor, tapi justru sebenarnya ada hal unik yang patut ditelisik dari pandangan dramaturgi sisi panggung belakang (back stage). Para penghujat dan penggemar Kpop apakah pernah sadar dan bertanya kenapa sih Kpop bisa setenar itu? kenapa Kpop bisa merasuki jiwa anak muda? padahal sejak dulu industri musik selalu didominasi dari Eropa dan Amerika. Eh, tiba-tiba muncul jabang bayi BTS, Blackpink, EXO, NCT, Twice wa khwatuha yang berhasil mendapatkan pasarnya di dunia entertainment dan sering membombardir trending YouTube.
Jadi, sebenarnya setiap negara itu memiliki level seni tertinggi sebagai kiblat dan jangkar kebudayaannya. Contoh, Amerika punya Hollywood, India punya Bollywood, Jepang punya Manga, Anime dan Harajuku, Korea punya K-pop dan drakor, lalu Indonesia? Bukankah kita sebenarnya punya seabrek seni dan budaya, tapi mengapa nampaknya tak bisa keren layaknya mereka. Bercermin terhadap Korea misalnya, K-pop dan drakor menjadi salah satu senjata utama dalam membangun kesadaran jati dirinya. Dilansir dari era.id, pada tahun 1994, Presiden Korea Selatan saat itu Kim Young-sam menyatakan, negaranya siap bersaing dalam budaya dan ekonomi baru dikancah global sebagai respon atas tekanan eksternal yang diberlakukan Amerika Serikat sebagai negara adidaya. Tekanan yang dimaksud ialah hegemoni budaya barat dan westernisasi (baca: proses dimana pola kehidupan meniru gaya budaya barat, baik gaya hidup, berpakaian maupun tingkah laku) yang kuat.
Korea Selatan adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang menjadikan seni dan budaya sebagai komoditas ekspor yang dikembangkan menjadi sebuah soft power dalam berdiplomasi dan hasilnyapun sangat luar biasa. Indonesia tentunya harus punya jangkar budaya sendiri agar tidak terus mengekor menjadi bebek peradaban, mengembangkan potensi semaksimal mungkin dengan merangkul budaya. Kita harus mulai berani produksi identitas kita dan mengurangi penggaungan identitas mereka, walaupun dirasa susah, pasti bisa jika kita start dari sekarang dan menuai hasilnya di kemudian hari, itu kata Jovial da Lopez.
Lebih lanjut, peran pemerintah sangat amat dibutuhkan, sekreatif apapun anak mudanya kalau tidak ada sistem/pemerintah yang mendukung, ya mau gimana lagi, betapa besarnya efek budaya bagi perekonomian, hingga politik bagi sebuah bangsa. Cinta K-pop silakan, tapi jangan lupa jalan pulang. The last I say, Kamsahamnida, Syukronda!
Baca juga artikel terkait Opini atau tulisan menarik lain di dedikasi.id
(dedikasi.id – Opini)
Penulis: Nur Saifullah
*Penulis adalah mahasiswa IAIN Kediri jurusan Sosiologi Agama semester 6. Opini tersebut terpilih sebagai juara 2 pada lomba opini dan features dalam selebrasi Dies Natalis LPM Dedikasi ke-25.