(DEDIKASI.ID) – Menyimak pidato Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar (Pak Nasar) di UIN Alauddin Makassar (11 November 2024), Pak Nasar adalah sosok Menteri Agama yang resah. “Agama ini benar-benar harus diurus. Sebab kalau tidak, kalau melakukan pembiaran, umat dengan agamanya akan berjarak”. Pak Nasar menegaskan, agama yang selama ini seolah memiliki kesan hanya berurusan dengan dogmatis-tekstual, selalu berbicara masa lampau yang penuh pembatasan, konservatif, dan terkesan statis—harus bergerak ke ruang rasionalitas yang membebaskan, dinamis-kontekstual, dan berorientasi masa depan–kalau perlu memikirkan 1000 tahun yang akan datang.
Dalam hal memikirkan masa depan tersebut, Pak Nasar mewanti-wanti kepada para dosen yang mendapatkan sesebutan akademisi dan bagi level tertentu sebagai intelektual agar tidak berhenti belajar. “Para dosen kita itu jangan hanya mengajar. Tetapi tidak pernah belajar”. Pak Nasar mengandaikan, kalau Dosen itu seperti gergaji, hanya selalu dipakai menggergaji tidak pernah diasah, maka, gergaji itu tidak produktif. Para Dosen harus memiliki hari khusus, atau cara khusus untuk mengasah gergaji sehingga selalu ada perbincangan hal-hal baru—perkembangan ilmu baru, temuan riset baru, buku-buku terbaru.
Keresahan Pak Nasar tentang nasib agama dan nasib keilmuan di masa depan membuktikan satu hal, bahwa Pak Nasar adalah seorang Menteri Agama yang memikirkan masa depan. Pak Nasar tidak hanya memikirkan jangka pendek keselamatan posisi sebagai menteri dan membuat program jangka pendek seumuran jabatan politik—tetapi, Pak Nasar memasuki ke relung esoterik, mendalam, mengajak untuk kembali ke hal-hal substansial yaitu memikirkan nasib agama dan keilmuan sampai 1000 tahun yang akan datang.
Pak Nasar memikirkan masa depan. Ini berkesesuaian dengan apa yang ditawarkan oleh para psikolog positif yaitu Martin E.P Seligman, Peter Railton, Roy F. Baumeister, dan Chandra Sripada bahwa manusia adalah makhluk yang selalu memikirkan masa depan (homo prospectus). Secara alamiah, manusia sebagai makhluk yang selalu memikirkan masa depan memunculkan tindakan-tindakan antisipatif dan evaluatif sehingga tercapai kesuksesan manusia. Tawaran perspektif baru tentang manusia bahwa manusia adalah makhluk yang selalu memikirkan masa depan tersebut menurut saya penting. Sebab, di psikologi sendiri, pandangan tentang manusia masih berada di sejarah masa lalu dan saat ini—bahwa perilaku manusia didorong oleh ingatan masa lalu dan persepsi atau motivasi terhadap keadaan saat ini. Perspektif manusia sebagai homo prospectus bisa dijadikan sebagai pedoman untuk pemberdayaan diri yaitu terus belajar menjadi manusia pembelajar.
Menjadi Manusia Pembelajar
Menyimak beberapa ungkapan Pak Nasar diatas, saya teringat sebuah buku yang pernah saya baca sekitar 24 tahunan yang lalu. Buku tersebut berjudul Menjadi Manusia Pembelajar karya Andrias Harefa (2000)—membahas tentang pemberdayaan diri, transformasi organisasi dan masyarakat melalui proses pembelajaran. Pak Nasar seolah memberi peringatan kepada para dosen yang sedang berada dalam “kelupaan diri” terhadap tugas substansial yaitu belajar, belajar, dan belajar. Pak Nasar mengajak para dosen di lembaga-lembaga Kementerian Agama untuk nglilir (terbangun) menjadi dosen pembelajar—memiliki keinginan kuat untuk belajar sepanjang hidup, memiliki gairah untuk menghidupkan prinsip long life learning.
Tiga sikap utama untuk (menuju) menjadi manusia pembelajar adalah terbuka (open), memiliki rasa keingintahuan yang tinggi (curiosity), dan rendah hati (humble; tawadhu). Sikap terbuka memiliki prinsip bahwa fenomena-fenomena di luar dirinya (alam semesta), fenomena-fenomena yang terdapat di dalam diri (mempribadi), fenomena-fenomena hubungan antar manusia dalam kemasyarakatan, bahkan fenomena-fenomena keyakinan dan kepercayaan kepada yang ghaib (Tuhan, Malaikat, Setan, Jin) adalah tanda-tanda atau bahan-bahan yang bisa dijadikan sebagai proses belajar dan menemukan kebenaran.
Sikap terbuka tersebut akan menjadikan seseorang menjadi individu yang memiliki kepekaan terhadap berbagai fenomena sehingga memunculkan sikap rasa ingin tahu yang tinggi untuk meneliti dan menggali sehingga mendapatkan pemahaman yang otentik tentang fenomena tersebut. Sikap terbuka dan rasa ingin tahu yang tinggi adalah dua sikap yang saling bergandengan. Sikap terbuka melahirkan keingintahuan, sementara, keingintahuan tidak akan muncul apabila tanpa adanya sikap keterbukaan.
Seseorang yang nir-keterbukaan, tentu tidak akan memunculkan berbagai rasa keingintahuan terhadap apa-apa yang ada di luar dirinya (alam semesta—baik dekat maupun jauh), tidak muncul rasa ingin tahu untuk menggali dan memahami dirinya sendiri, pun tidak memiliki keinginan untuk menghayati apa-apa yang diyakini dan dipercayai. Seseorang yang seperti ini berarti seseorang yang memiliki sikap berkebalikan dengan keterbukaan, yaitu sikap menutup diri. Bayangkan apabila sikap menutup diri dimiliki oleh para dosen, maka, para dosen berhenti belajar, para dosen menganggap dirinya sebagai orang yang sudah selesai, paripurna. Lalu, apabila para dosen memiliki sikap yang demikian bagaimana nasib keilmuan dan pengembangan ilmu?
Sikap rendah hati adalah sebuah sikap yang mendasar selain sikap terbuka dan keingintahuan yang tinggi bagi seseorang yang (menuju) menjadi manusia pembelajar. Rendah hati adalah sebuah kualitas personal yang tidak menganggap rendah orang lain, tidak sombong dan tidak angkuh. Kerendahan hati memiliki prinsip “saya bukan segalanya; saya bukan paripurna; saya bukan yang terpandai; dan lain-lain”, sekaligus, berprinsip “siapapun memiliki kelebihan dan kekuatan; didalam diri seseorang ada sesuatu yang dapat dijadikan proses belajar dan diambil hikmah”.
Salah satu penyakit kaum pagedongan atau para akademisi yang berada di dalam gedung-gedung perguruan tinggi adalah kecongkakan, angkuh, dan merendahkan orang lain. Orang-orang yang ada di luar pagedongan akademik dianggap rendahan karena dianggap tidak berilmu, maka, pantasnya hanya dijadikan sebagai objek kajian dan penelitian. Para akademisi tidak mau mengais ngelmu dari siapapun, tidak mau belajar kepada siapa saja yang dijumpai. Lebih jauh, para akademisi yang seperti ini tidak menerapkan prinsip belajar bahwa siapapun adalah guru.
Di Jawa, dalam hal mencari ilmu (ngluru ngelmu) ada sebuah konsep ngluru ngelmu tai dadi emas. Tai atau tinja (feses) adalah sesuatu yang semestinya dibuang, sebab, tai adalah kotoran. Maka, secara umum, sesuatu yang semestinya dibuang apalagi sesuatu tersebut kotoran akan dianggap sebagai sampah—tidak berharga, tidak bernilai, ora aji. Dalam konteks orang atau profesi seseorang, misalnya, bagi sebagian orang ada yang menganggap profesi-profesi tertentu adalah profesi yang tidak berharga, tidak bernilai, profesi yang ora aji. Profesi-profesi wong cilik dengan demikian sudah semestinya tidak mendapatkan penghargaan dari orang lain, dianggap tidak bernilai, tidak perlu diajeni. Namun, tidak demikian para leluhur Jawa mengajarkan. Justru, sesuatu yang dianggap “tai”, sampah, semestinya dibuang karena kotoran bisa menjadi emas atau ada kandungan emas didalamnya.
Konsep ngluru ngelmu tai dadi emas menjadikan semua orang atau siapapun adalah guru. Maka, perlu untuk dikais, dijadikan sebagai proses belajar. Sebab, pada diri siapapun terdapat emas. Siapapun yang mau mengais dan mau belajar dari siapapun, berarti akan banyak mendapatkan emas, memperoleh pembelajaran dan mendapatkan hikmah (kebijaksanaan, kearifan). Senada dengan konsep Jawa ngluru ngelmu tai dadi emas adalah sebuah konsep belajar yang disampaikan oleh Ki Ageng Suryomentaram yaitu “ora ana guru-murid” (tidak ada guru-murid) yang ada adalah orang yang sedang belajar, sama-sama belajar. Satu waktu seseorang bisa menjadi guru, di waktu yang lain bisa menjadi murid. Demikian sebaliknya, satu waktu seseorang menjadi murid, di waktu yang lain bisa sebagai guru. Sungguh, leluhur Jawa sedang mengajarkan kerendahan hati dalam proses belajar dan bagaimana (menuju) menjadi manusia pembelajar.
Sampai disini, saya membayangkan, apabila para dosen adalah dosen yang menjadi manusia pembelajar. Maka, tugas keilmuan dan pengembangan ilmu akan terwujud dengan baik. Gagasan inti bahwa keilmuan adalah kebaikan akan dijadikan sebagai tujuan yang menjadi orientasi setiap gerakan keilmuan. Dalam perspektif filsafat ilmu, ilmu sebagai kebaikan yang menjadi inti gagasan tersebut adalah bermula dari rasa ingin tahu terhadap “sesuatu” untuk menemukan kebenaran tentang “sesuatu”. Proses pencarian kebenaran yang disangga oleh kemandirian, kemerdekaan dan integritas tersebut diharapkan dapat memberikan dampak kebaikan bersama—baik kebaikan bagi ilmu itu tersendiri, maupun kebaikan bagi kesejahteraan umat manusia. Inilah tanggungjawab sosial dari keilmuan, dan setiap dosen memikul tanggung jawab sosial tersebut.
Baca tulisan menarik lainnya di Dedikasi.id!
Penulis : Sunarno (Dosen Psikologi IAIN Kediri dan Pembina LPM Dedikasi)