(DEDIKASI.ID) – Menginjak umur 20 — 29 tahun atau saat sudah berkepala dua, terlihat sepele namun terasa menyeramkan bagi beberapa orang, apalagi di zaman sekarang. Noleh kanan udah pada nikah, noleh kiri udah pada punya anak, noleh belakang udah pada sukses dengan usahanya, abis itu liat cermin ngerasa diri sendiri masih gini-gini aja. Padahal, umur berkepala dua masih termasuk usia untuk berproses, seharusnya tidak semenyeramkan itu. Namun, yang menjadikan umur berkepala dua terasa menyeramkan adalah opini-opini tak berguna orang-orang yang hanya bisa berpendapat tidak jelas, menyamaratakan jalan hidup seseorang, padahalkan jalan hidup orang itu berbeda-beda, dan roda kehidupan pun berputar sesuai porosnya.
Di umur berkepala dua, ada yang baru memulai usaha, ada yang baru mulai kuliah, ada yang sudah berkeluarga, dan ada juga yang sudah sukses dengan usahanya, semua itu normal loh. Tapi menjadi tidak normal ketika dihadapkan dengan orang-orang yang dzolim atau bahasa gaulnya tukang nyinyir, “eh kamu kapan wisuda? Si itu loh udah wisuda, cumlaude lagi”, “eh kamu kapan nikah? Anak saya loh udah nikah sama abdi negara lagi”, “ eh kamu kok di rumah terus? Kok ngga kerja? Adik saya seumuran kamu loh udah jadi manajer” dan nyinyiran-nyinyiran lainnya, yang membuat kita jadi overthingking kepada diri sendiri. Pusing kan kalo dihadapkan dengan orang-orang seperti itu? Apalagi kalo dari orang terdekat. Nah ini nih yang biasanya menjadi penyebab pemuda pemudi lebih memilih merantau jauh daripada tinggal ditempat ia lahir, tapi di rantauan juga tidak menjamin terhindarnya dari orang nyiyir sih, Tapi setidaknya lebih aman lah.
Baca tulisan lainnya
Bukan hanya dari orang sekitar, di era modern saat ini media sosial juga seakan menjadi pedang bermata dua di kehidupan seseorang, terutama bagi seseorang yang menginjak umur berkepala dua. Di satu sisi, media sosial menjadi harta karun, contohnya dengan kemudahan akses informasi serta peluang yang diberikan. Namun di sisi lain, media sosial menjadi pedang yang sangat tajam. Bisa kita lihat dimana standar kehidupan yang realistis tercipta di media sosial, menjadikan beberapa orang merasa cemas, “dia kok udah bisa gini gitu, aku kok belom?”, “kehidupan mereka kok terlihat sangat indah, kenapa kehidupanku begini-begini saja?”, “mereka bisa, kenapa aku tidak?”. Serta kecemasan-kecemasan lainnya yang menghantui pikiran. Lantas, bagaimana cara menghadapi serta mengatasinya?.
Kediri, 27 November 2024
Baca juga artikel terkait Opini atau tulisan menarik lain di dedikasi.id!
Penulis: Ditha Dwi Putri
Editor: Niswa