(DEDIKASI.ID) – Politik, kata ini bagi sebagian masyarakat kita cenderung diartikan hanya sebatas perebutan kekuasaan (rebut kuwasa). Maka, bagi mereka yang aktif dan terlibat di dunia perpolitikan, akan melekat pada dirinya sebagai pribadi yang penuh intrik untuk menjatuhkan lawan, kebohongan, bahkan konflik. Apa dampak dari penyempitan arti politik tersebut? Akan muncul nyirikki atau menjauhi dunia politik, ada pelarangan dari orang tua kepada anaknya yang sudah mahasiswa, misalnya, untuk tidak kecemplung di kegiatan-kegiatan politik—(mahasiswa kembali ke kampus, jangan turun ke jalanan), ini erat kaitannya dengan keselamatan biar tidak berada dipusaran konflik “upaya menjatuhkan lawan”. Berikutnya, muncul anggapan sebagai “manusia kotor” kepada mereka yang aktif dan terlibat perpolitikan—lagi, karena politik erat dengan intrik-intrik dan kebohongan untuk mendapatkan kekuasaan. Dititik ini, bagi sebagian (besar) masyarakat memilih untuk “merem politik” daripada “riyip-riyip politik” apalagi “melek politik”.
Saya tidak akan menghakimi keliru kepada sebagian (besar) masyarakat kita yang masih memiliki penyempitan arti politik tersebut. Mengapa? Bisa saja, penyempitan arti politik yang mereka miliki disebabkan tidak adanya pendidikan politik kepada masyarakat kecil (wong cilik)—sebab, para elit politik yang diinginkan dari wong cilik hanya bithing (suara pada saat pilpres, pileg, dan pilkada). Atau, memang fakta-fakta empiris yang disaksikan oleh wong cilik adalah kenyataan dipraktikkannya intrik-intrik menjatuhkan dan mengalahkan lawan sehingga sering adanya peristiwa konflik antar lawan politik yang meskipun itu sandiwara, dan kebohongan-kebohongan politik lainnya. Juga, menurut saya, bisa disebabkan dari sumber pengetahuan politik yang didapatkan oleh masyarakat itu sendiri.
Berbicara sumber pengetahuan politik bagi masyarakat Jawa, salah satu yang dijadikan sumber pengetahuan politik adalah melalui pagelaran wayang kulit. Wayang kulit menjadi salah satu sumber utama pengetahuan jauh sebelum sumber pengetahuan berbentuk tulisan yaitu buku, koran, maupun media sosial muncul. Bahkan, meskipun pengetahuan sudah melesat cepat melalui ruang-ruang artificial intelligence, pagelaran wayang kulit masih dijadikan sebagai salah satu sumber pengetahuan bagi masyarakat Jawa melalui lakon-lakon ceritanya, tidak terkecuali menyoal peristiwa proses peralihan kepemimpinan sebuah kerajaan atau perluasan kekuasaan kerajaan dengan menaklukkan kerajaan lain. Dinamika proses tersebut menjadi pengetahuan politik bagi masyarakat Jawa pecinta wayang kulit.
Melalui pagelaran wayang kulit, masyarakat Jawa mendapatkan pengetahuan politik (seoah-seolah) bahwa politik itu menyoal serba-serbi intrik untuk mendapatkan, menjatuhkan dan memperluas kekuasaan, maka, sarat dengan konflik dan peperangan, kematian tidak terhindarkan, pun wong cilik menjadi korban. Berbagai strategi kemenangan, bahkan praktik pembohongan publik pun menjadi bagian dari laku politik disebuah lakon cerita wayang kulit. Isi cerita dalam sebuah lakon wayang kulit dijadikan sebagai sumber pengetahuan, berangsur menjadi nilai, bahkan mendalam dijadikan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat Jawa.
Lakon wayang kulit Wahyu Makutharama misalnya, sebuah cerita perebutan wahyu kepemimpinan milik Prabu Ramawijaya di era Ramayana agar terwariskan ke era berikutnya yaitu era Mahabarata. Pihak yang memperebutkan Wahyu Makutharama adalah Pandhawa dan Kurawa. Lalu, siapakah yang kewahyon (mendapatkan anugerah wahyu)? Arjuna, dari pihak Pandhawa. Apakah proses mendapatkan wahyu tersebut dengan perdamaian? Tidak! Namanya saja sudah perebutan, ada unsur kompetisi disana, maka, peperangan dan korban kematian menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
Cerita lakon wayang kulit lainnya misalnya ada Pamuksa, sebuah peperangan perluasan kekuasaan antara Kerajaan Hastina yang dipimpin oleh Prabu Pandu Dewanata melawan Kerajaan Pringgondani pimpinan Prabu Trembaka. Ada cerita lakon wayang kulit Wahyu Cakraningrat, Parikesit Jumeneng Nata—nyaris, setiap lakon wayang kulit yang menceritakan proses pergantian pimpinan disebuah kerajaan selalu ada intrik, ada peperangan, dan praktik-praktik kebohongan.
Kualitas Manusia (Melek Kahanan) Indonesia
Apabila kita berbicara perubahan, adakah yang lebih mendasar selain berakar dari kualitas manusia? Apabila kita menginginkan hidup dan kehidupan yang lebih baik, adakah yang lebih subtansial selain merubah kualitas manusia kearah yang lebih baik? Apabila kita memiliki gagasan masa depan dengan jangka-jangka yang kita buat, siapakah yang bertanggungjawab menjangkah jangka-jangka tersebut selain diri kita sendiri dan hal tersebut bertumpu kepada kualitas diri kita sendiri sebagai manusia?
Sejarah Indonesia masa lalu, sungguh, itu adalah perwujudan kualitas manusia Indonesia di masa lalu. Indonesia saat ini adalah manifestasi kualitas manusia Indonesia yang ada sekarang. Pun, kualitas manusia Indonesia di masa sekarang, turut memberikan warna Indonesia masa depan. Ya, kita harus segera sadar-sesadar-sadarnya bahwa kualitas manusia Indonesia menyejarah berkesesuaian dengan sejarah Indonesia. Kualitas manusia Indonesia menjadi kunci sejarah Indoensia, lebih jauh, sebagai kunci sejarah peradaban kemanusiaan itu sendiri.
Sejak Indonesia merdeka, kualitas manusia Indonesia sudah disadari sebagai hal yang sangat penting, mendasar, dan substansial. Dengan memasukkan kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” di alenia keempat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar, misalnya, adalah bukti arah gerak masa depan Indoensia bertumpu kepada kualitas manusianya. Atau, saya hanya menunjukkan dua pemikiran yang menunjukkan bahwa memikirkan kualitas manusia Indonesia adalah penting dan tidak ada titik finishnya. Mochtar Lubis, misalnya, pada tahun 1977 menggagas konsepsi (negatif) manusia Indonesia dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki. Mochtar Lubis menjelaskan 6 sifat manusia Indonesia dalam pidatonya diawali dengan kalimat “Wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas. Siapa itu orang atau manusia Indonesia?”. Sedangkan pada tahun 1983, Universitas Dipononegoro Semarang melaksanakan seminar yang kembali menggagas manusia seutuhnya. Seminar yang dihadiri oleh para tokoh keagamaan, ilmuwan, dan filsuf ini memikirkan ulang seperti apa manusia seutuhnya itu? Seminar manusia seutuhnya tersebut kemudian dijadikan sebuah buku dengan judul “manusia seutuhnya beberapa gagasan” yang menggagas manusia dari perspektif agama, kesenian, sains, dan kefilsafatan.
Memikirkan kualitas manusia Indonesia, jelas, tidak ada titik berakhirnya. Orang-orang Indonesia di eranya masing-masing akan memikirkan ulang konsep manusia sesuai dengan konteks zaman demi menyelesaikan permasalahan-permasalahan zamannya, dan demi menjangka Indonesia di masa depan. Menggagas kualitas manusia Indonesia pada akhirnya adalah menggagas Indonesia—dan, salah satu tawaran saya adalah menggagas kualitas manusia Indonesia yang “Melek politik. Melek, bukan riyip-riyip apalagi merem terhadap politik”.
Mari sejenak merenungkan perjalanan berbangsa dan bernegara kita. Sejak sebelum kemerdekaan, di tahun 1928, ada peristiwa kebudayaan para Poetra-Poetri bangsa Indonesia yang “melek kahanan” terhadap kondisi bangsanya—mendeklarasikan Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dan di masa kemerdekaan, siapakah yang berperan memerdekakan bangsa Indoensia? Setelah bangsa Indonesia merdeka, penjajah datang kembali, siapakah yang berperan? Ya, rakyat Indonesia yang melek terhadap kondisi bangsa dan negaranya.
Berdasarkan sejarah, arah gerak bangsa dan Negara ditentukan oleh warga Negara. sebab, hakikatnya, bangsa dan Negara ini adalah milik warga Negara. Sejak di era orde lama, orde baru, masa reformasi, bahkan di 1 atau 2 dekade terakhir—penentu arah gerak bangsa dan Negara adalah warga Negara. Maka, keterlibatan warga Negara adalah mutlak. Dengan catatan, warga Negara yang terlibat adalah para warga yang “melek (kahanan) politik”. Warga Negara yang seperti ini adalah para warga Negara yang bisa mengambil peran untuk melawan—meluruskan ketika bengsa dan Negara berbelok arah dan menggebuk para penyelenggara Negara yang merusak Negara.
Baca tulisan menarik lainnya di Dedikasi.id!
Penulis : Sunarno (Dosen Psikologi IAIN Kediri dan Pembina LPM Dedikasi)