(DEDIKASI.ID) – Di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kediri, massa dari Afiliasi Sekartaji menggelar aksi untuk menuntut kebijakan-kebijakan terbaru pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat. Aksi yang dilaksanakan Rabu (13/04) itu dimulai dengan longmarch dari Gedung Nasional Indonesia (GNI) menuju DPRD Kota Kediri.
“Afiliasi Sekartaji ini adalah sebuah aliansi dari beberapa organisasi atau komunitas yang ada di kediri, kita berkumpul dan berdiskusi sehingga mendapatkan beberapa tuntutan yang sama,” ujar Benning Van de Rousd selaku Koordinator Lapangan (Korlap) aksi ketika dihubungi via whatsapp oleh Dedikasi.
Dalam aksinya itu, Afiliasi Sekartaji membawa beberapa tuntutan yang tertuang dalam press release mereka di Instagram. Tuntutan mereka meliputi: (1) Menolak perpindahan ibu kota baru/IKN; (2) Mencabut kenaikan harga BBM dan menstabilkan ketersediaan semua variannya; (3) mencabut kenaikan PPN 11% dan menurunkan harga minyak goreng dan menstabilkan ketersediaannya; (4) mewujudkan reformasi agraria sejati dan membangun industri nasional yang kuat dan mandiri; (5) mewujudkan pendidikan ilmiah, demokratis, dan mengabdi pada rakyat.
Afiliasi Sekartaji meminta kepada DPRD Kota Kediri untuk membuat pernyataan sikap yang sama dengan kelima tuntutan mereka. DPRD Kota Kediri akhirnya menandatangani surat pernyataan itu setelah massa aksi meminta DPRD dari semua fraksi untuk keluar menemui mereka yang sudah menunggu di bawah guyuran hujan. Tidak sampai disitu saja, massa aksi juga mengancam akan membawa massa yang lebih besar jika dalam waktu 4 hari surat tidak juga dikirimkan ke Presiden dan DPR RI serta harga BBM tidak kunjung turun.
“Akan tetapi ketika dalam waktu 4 hari BBM belum turun dan stabil, maka kita akan turun aksi kembali dengan massa yang lebih besar,” ujar Benning.
Aksi yang dihadiri oleh beberapa elemen masyarakat itu berjalan dengan lancar dan kondusif. Meski begitu, ketika massa aksi sampai di depan gedung DPRD Kota Kediri, mereka mendapatkan tindakan yang kurang mengenakkan oleh aparat kepolisian.
“Kemarin kita malah di halang-halangi untuk menyampaikan aspirasi. Polisi malah membuat kegaduhan dengan suara yang lebih kencang daripada kawan-kawan massa aksi yang menggunakan megaphone,” kata Benning.
Menurutnya, aparat seharusnya mengamankan dan mengawal kelancaran aksi sebagai salah satu bentuk demokrasi, bukan malah menghalang-halangi penyampaian pendapat dengan suara keras sebagai tandingan.
Meski mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan yang sebenarnya dapat memberikan dampak psikologis kepada mereka, massa aksi tetap semangat dalam perjuangannya sampai akhir.
“Kemarin kita tetap semangat untuk berjuang dan kawan-kawan tetap kondusif dan aman walaupun hal tersebut sangat di sayangkan karena dapat menekan psikologis massa aksi,” kata Benning.
Salah satu peserta aksi, Dhimas Andrean, juga menyesalkan sambutan dari aparat yang memberikan peringatan kepada peserta aksi yang menurutnya berlebihan.
“Sedikit menyesalkan adanya sambutan yang diberikan oleh aparat dengan langsung memberi peringatan kepada massa aksi terkait apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, padahal kita juga belum menyampaikan aspirasi,” ujarnya.
Pihak aparat sendiri berdalih dalam pengumumanya bahwa hal itu merupakan cara agar massa aksi bersikap tertib, kondusif, dan tidak anarkis. Selain itu juga agar tidak mengganggu kelancaran ibadah puasa warga sekitar lokasi aksi.
Terakhir, sebagai massa aksi, Dhimas berharap agar lembaga legislatif dan eksekutif mau mendengar dan menuruti tuntutan dari massa aksi. Selain itu, ia juga berharap agar tuntutan mereka tidak hanya ditandatangani saja, tetapi juga direalisasikan. “Jadi ndak hanya sekedar tanda tangan lembar yang berisi tuntutan, namun juga harus mewujudkan tuntutan-tuntutan,” tegasnya.
Penulis : Syafi’i Reporter : Syafi’i Editor : Maulana