dedikasi.id – Kekerasan seksual di kampus beberapa pekan belakangan menjadi perhatian seiring mencuatnya insiden kekerasan seksual yang melibatkan oknum dosen kepada mahasiswinya. Hal penting yang kini gencar diperjuangkan adalah keadilan bagi korban dan edukasi terkait alur pengaduan untuk korban atau pelapor.
Tidak sedikit yang malu, takut, hingga tidak percaya bahwa laporan mereka akan memiliki dampak. Di sinilah perlunya sosialiasi sistem pelaporan di kampus. IAIN Kediri sendiri telah menyusun Surat Keputusan (SK) Rektor yang menjabarkan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. SK tersebut dikeluarkan pada bulan Juni 2020.
Dalam SK disebutkan terdapat pusat pengaduan yang melindungi korban. Layanan pengaduan itu menekankan soal kerahasiaan. Selama ini, layanan yang menanggapi kekerasan seksual di kampus adalah Unit Layanan Terpadu yakni Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), sebuah lembaga konseling yang dibentuk dalam lingkup IAIN Kediri.
Adapun alur pengaduan yang harus dipahami pelapor atau korban yaitu mendaftarkan laporannya ke bagian pendaftaran Unit Layanan Terpadu yaitu PSGA baik secara langsung (luring) maupun online (daring). Pelapor harus mengisi blangko yang berisi penjelasan ringkas mengenai duduk perkara. Dalam hal mengisi blangko laporan dapat dibantu oleh PSGA. Untuk diketahui, jangka waktu persidangan pemeriksaan kekerasan seksual oleh PSGA paling lama 30 hari terhitung sejak hari sidang yang pertama dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari.
Setelah korban memberi laporan tertulis ke PSGA, kemudian PSGA menindaklanjuti dengan mencari bukti-bukti dari korban. Perlu diingat, bukti-bukti tersebut bersifat rahasia, yang memiliki kewenangan untuk meminta dan memeriksa adalah pihak PSGA. Adapun beberapa lembaga mahasiswa seperti UKM Advokasi dan UKM Gender hanya bertugas memberi pelayanan terhadap korban kekerasan seksual berupa pendampingan. Pendampingan pun diutamakan berjenis kelamin sama dengan korban.
Kembali pada alur pelaporan, setelah PSGA mencari bukti-bukti, PSGA menindaklanjuti dengan menulis surat ke Rektor dan Senat kampus (tembusan). Pemeriksaan, persidangan, dan sanksi oleh Senat kampus, yang diakhiri dengan adanya keputusan rektor untuk merespon kasus tersebut.
“Semua dipanggil, saya diperiksa, pelapor dan juga terlapor, tetapi waktunya tidak bersamaan,” kata Sardjuningsih.
Lembaga yang diketuai Sardjuningsih ini menjadi pusat yang sinergis. Mulai dari memberikan pendampingan psikologis dan hukum jika ingin melanjutkan, sampai pada pemberian edukasi dan mendata kasus kekerasan seksual di kampus. Pengenalan PSGA beserta edukasi penanggulangan dan pencegahan kekerasan seksual telah tayang pada segmen Talkshow “Ruang Gender” Kalam Kampus (KaKa) FM pada bulan Juni dan Juli 2020.
“Bu Sardju ada program promosi terkait PSGA melalui KaKa di acara Talkshow. Saat itu disiarkan melalui jaringan KaKa FM, juga direkam kemudian di-up pada YouTube KaKa Media,” kata Monik, Ketua Talkshow periode 2020 KaKa FM.
Jika menilik Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Islam, PSGA menjadi leading sektor unit pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di PTKI. Jadi, pelapor atau korban tak perlu takut untuk melakukan pengaduan kepada lembaga yang ditunjuk tersebut.
Sudah seharusnya alur pelaporan dipahami dengan baik oleh korban dan dijalankan dengan penuh amanah oleh para stakeholder yang terlibat dalam penanganan tersebut. Kampus berkewajiban untuk menerapkan aturan dengan baik dan tegas terhadap pelaku serta mengikat semua sivitas akademika bahwa terdapat SOP yang menjadi peringatan. Adanya SOP menjadi bukti bahwa ada publik yang sedang mengawasi, serta ada aturan yang bisa menjerat.
Penulis: Ela/Eko
Baca juga artikel terkait berita lainnya di dedikasi.id
Lampiran-lampiran: