“Aku punya seorang abang Paiman. Dia lahir pada hari pasaran Paing, maka dinamai dengan suku depan Pai. Aku tiga tahun lebih muda, dinamai: Sanikem. Ayahku bernama Sastrotomo setealh kawin. Kata para tetangga, nama itu berarti: Jurutulis yang utama”
(DEDIKASI.ID) – Penggalan paragraf tersebut ada di halaman 114 bagian ke-5 dari buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (Pram). Bumi Manusia adalah buku pertama dari tetralogi Buru yang terbit pada tahun 1980 dan dilarang beredar oleh Jaksa Agung di tahun 1981. Kutipan paragraf tersebut adalah cerita lisan Annelies kepada Minke tentang siapa sebenarnya Nyai Ontosoroh (Ibu dari Annelies).
Sanikem, adalah sebuah nama yang pertama kali muncul setelah Pram bercerita 4 bagian sebelumya yang berisi tentang kebesaran nama dan ketenaran nama Nyai Ontosoroh. Annelies menceritakan siapa sebenarnya Ibunya kepada Minke, sebab, Minke sudah sangat lama penasaran terhadap sosok Nyai Ontosoroh. Cerita lisan Ann (demikian panggilan Annelies) kepada Minke adalah cerita ulang dari apa yang diceritakan oleh Ibunya disaat Ann merasakan keanehan pertama kali dalam hidupnya, yaitu bekas ciuman Minke disuatu malam yang terasa panas di pipi Ann. Malam itu, Ann sudah benar-benar tergila-gila kepada Minke—diperiksanya muka panasnya ke cermin, digosok dan dihapus, tetapi pipinya masih saja terasa panas. Ann sepertinya benar-benar dalam kegilaan karena cinta kepada Minke.
Sastrotomo, Ayah dari Sanikem adalah seorang juru tulis di kantor pabrik gula Tulangan, Sidoarjo. Sastrotomo memimpikan jabatan yang lebih tinggi yaitu sebagai Jurubayar (kasir) dengan harapan, kelak, tidak mendapatkan kesulitan apabila memasukkan adik-adiknya dan seudara-saudaranya untuk bekerja di pabrik. Sang Jurutulis benar-benar gandrung (tergila-gila) dengan jabatan—baginya, jabatan yang tinggi selain memudahkan juga akan mendapatkan kehormatan yang lebih tinggi di masyarakat. Bagi Sang Jurutulis, bukan lagi tulisan yang utama, melainkan uang yang kuasa.
Sang Jurutulis yang utama itu tidak hanya gacor200 tetapi juga sudah mendem (mabuk) jabatan. Selain bekerja yang semakin rajin, Sang Jurutulis mulai menempuh jalan ke dukun, lelaku tirakat dan jampi mantra, berpuasa senin dan kamis, menjilat dan merugikan teman-teman di tempat kerjanya, menarik tuan-tuan Belanda untuk datang ke rumah lalu disuguhi segala yang menyenangkan, sampai menawari perempuan kepada Tuan Besar Kuasa Belanda—tetapi, dari banyak jalan yang ditempuh tersebut Sang Jurutulis belum juga membuahkan keberhasilan. Justru, kebencian dan kejijikan dari banyak orang.
Sanikem, diumur tigabelas (13) tahun mulai dipingit. Dipingit adalah salah satu tradisi Jawa menjelang pernikahan—calon pengantin perempuan tidak boleh keluar rumah selama beberapa hari (praktik lamanya pingitan beragam). Tujuannya ada dua, keselamatan calon pengantin perempuan dan persiapan pendidikan sebelum berumah tangga. Selama dipingit, Sanikem hanya memiliki tiga dunia—dapur, sumur, dan kasur.
Demi tercapainya impian menjadi Sang Jurubayar, Ayah Sanikem memiliki rencana tersendiri tentang perkawinan bagi Sanikem. Apakah Ibu Sanikem mengetahui rencana itu? Tidak! Apakah Sanikem sendiri yang nanti sebagai pelaku perkawinan dan pelaku berumah tangga mengetahui rencana Ayah Sanikem? Tidak! Perempuan Jawa, dizaman itu, tidak memiliki hak sedikitpun untuk berbicara, menentukan, apalagi memutuskan sebuah keputusan. Sang banyak bicara, banyak penentu, dan sang pengambil keputusan adalah laki-laki, Ayah Sanikem—demikian realitas masyarakat Jawa pada zaman itu.
Sanikem diumur empatbelas (14) tahun sudah termasuk perawan tua di desa, suatu malam diminta oleh Ayahnya untuk berkemas, memasukkan semua barang-barang dan pakaian ke koper. Malam itu, Sanikem diantar ke rumah Tuan Besar Kuasa Belanda. “Tengok rumahmu itu, Ikem. Mulai hari ini, itu bukan rumahmu lagi”, demikian ujar Ayah Sanikem kepada anak perempuannya, Sanikem.
Malam itu, Sanikem dijual oleh Sang Jurutulis. Seorang Ayah menjual anaknya sendiri demi impian jabatan sebagai Jurubayar. Sanikem, tersambar-sambar dalam diam. Ibunya, terdiam tidak bisa menolong anak perempuannya. Sanikem dan Ibunya, menyaksikan serah-terima Sanikem kepada sang pembeli Tuan Besar Kuasa Belanda dalam kepasrahan. Ada proses tandatangan yang dibubuhkan oleh Ayah Sanikem disebuah tulisan kertas, uang duapuluhlima (25) gulden yang kalau dikurskan ke rupiah sekarang menjadi 227.444,25, dan janji akan mengangkat Ayah Sanikem menjadi seorang Jurubayar. Sejak serah-terima di malam itu, Sanikem, sah sebagai gundik Tuan Besar Kuasa Belanda yang bernama Herman Mellema. Sanikem yang kemudian dikenal sebagai Nyai Ontosoroh adalah seorang selir, istri tidak sah, atau perempuan piaraan Tuan Herman Mellema.
…
Bagi masyarakat Jawa, dulu, ada sebuah pernyataan yang hidup dan dihidupi oleh masyarakat Jawa dalam hal pemberian nama kepada anak-anak perempuan Jawa, yaitu hendaknya memberi nama kepada anak perempuan dengan akhiran mingkem, mulut tertutup (berakhiran –em). Maka, di tahun 1960an ke bawah, orang Jawa, orang kecil (wong cilik), di desa—banyak didapati nama-nama perempuan berakhiran mingkem. Misalnya, Sanikem, Sarikem, Sariyem, Sarmiyem, Pariyem, Paijem, Paniyem, Partiyem, dan lainnya.
Sebagai orang yang kelahiran desa, saya sudah terbiasa dengan nama-nama tersebut. Dan bagi kebanyakan orang desa, tidak ada nama baik atau nama jelek. Sebab, salah satu fungsi nama bagi seseorang adalah tetenger, ciri, atau tanda yang khas. Maka, biasanya, kalau ada bayi yang baru lahir dan sudah berusia lima hari (sepasar) nama si bayi akan diluncurkan (dilaunching) bersamaan dengan upacara selamatan sepasaran bayi. Fungsi nama sebagai tetenger ini menarik, sebab, terkait dengan ciri dan tanda khas seseorang yang pada akhirnya menjadi identitas khas. Dengan demikian, dalam praktiknya, dijumpai di masyarakat Jawa, selain nama asli pemberian orang tua pada saat lahir juga disertai nama julukan khas sebagai ciri dan tanda khas melekat pada diri seseorang. Misalkan, karena disebuah dusun ada nama panggilan “No” yang lebih dari satu, maka, orang-orang akan menambahi julukan dibelakangnya menjadi “No De” (No Gede; besar) – “No Lik” (No Cilik; kecil) – “No Salon” (No yang suka salon) – “No Kepo” (No yang suka menggunakan tangan kiri), “Janem Gabah” (Janem penguyang gabah) – “Janem Kayu” (Janem pencari kayu), dan nama julukan yang lian dibelakang nama asli.
Fungsi nama seseorang bagi masyarakat Jawa yang lain adalah sebagai doa dan harapan. Ada istilah Jawa, asma kinarya japa. Nama seseorang adalah doa dan harapan, maka, nama adalah mantra itu sendiri. Misalkan, nama Sukarno yang berarti ksatria yang baik, Suharto memiliki orang kaya yang baik, Sudarsono berarti teladan, dan lain-lainnya—doa dan harapan menyatu didalam nama seseorang. Maka, setiap penyebutan sebuah nama adalah pembacaan japa-mantra. Semakin sering sebuah nama disebut, disuarakan, maka, semakin menjadi pengingat bagi seseorang untuk menjadi apa yang dimaknakan bagi namanya tersebut. Sekali lagi, nama sebagai japa-mantra adalah sebuah proses on becoming a person.
Nama bagi sebagian masyarakat Jawa tertentu malah berada di posisi sakral, memiliki kekuatan magis. Maka, dalam fenomena anak yang sering sakit-sakitan, misalnya, bisa saja disebabkan oleh nama yang tidak tepat—kabotan jeneng, istilahnya. Soekarno (Presiden RI 1) pernah mengalami proses tersebut. Soekarno kecil yang nama aslinya adalah Kusno sering sakit-sakitan, diganti namanya menjadi Soekarno. Nama, bagi sebagian masyarakat Jawa adalah sakral. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh William Shakespeare dalam “Romeo dan Juliet”, what is a name? Apalah arti sebuah nama.
Bagaimana dengan nama Sanikem, Sarikem, Sariyem, Sarmiyem, Pariyem, Paijem, Paniyem, Partiyem, dan lainnya? Apa doa dan harapan bagi nama yang berakhiran mingkem tersebut? Tujuannya tidak lain adalah mingkem itu sendiri. Menjadi perempuan Jawa tidak boleh banyak bicara, tidak boleh banyak bertanya, tidak boleh banyak protes—mingkem, manut (menurut) kepada laki-laki.
Pemberian nama anak perempuan dengan akhiran mingkem tersebut apabila dilihat dari konteks sosial budaya, maka, sangat kuat budaya patriarki pada zaman itu. Budaya patriarkal mampu memasuki celah yang paling pribadi namun mendasar yaitu nama seorang anak berjenis kelamin perempuan. Apabila benar tujuan daripada pemberian nama anak perempaun berakhiran mingkem adalah agar para perempaun Jawa lebbih banyak mingkem-nya dari pada bicara, bertanya, apalagi protes. Maka, ini adalah penjajahan terhadap perempuan yang sempurna. Meskipun, mingkem-nya para perempuan Jawa tidak selalu dimaknai negatif, sebab dari mingkem diharapakan akan didapatinya rasa jinem (damai), dan ayem tentrem. Tetapi, benarkah demikian?
Sejauh pengamatan saya terhadap perempuan-perempuan Jawa di desa, wong cilik, dan yang mempunyai nama akhiran mingkem—para perempuan Jawa justru melakukan sebaliknya. Para perempuan Jawa yang mempunyai nama dengan akhiran mingkem, seolah, tidak mau mingkem, tidak mau berada didalam kepasrahan pasif, pun tidak mau berpangku tangan. Para perempuan Jawa dengan nama akhiran mingkem terlibat didalam menentukan masa depan keluarga, turut bekerja keras dalam hal perekonomian keluarga, terlibat di gerakan sosial-politik. Nama boleh saja berakhiran mingkem, tetapi diam-diam para perempuan Jawa dengan nama berakhiran mingkem melakukan perlawanan untuk mendapatkan kemerdekaan utuh sebagai manusia. Perlawanan kepada budaya patriarki dalam akhiran nama mingkem.
Demikian yang dilakukan oleh Sanikem di Bumi Manusia-nya Pram. Diam-diam, Sanikem memiliki dendam kepada patriarkal yang dipraktikkan oleh Ayahnya sendiri. Beruntung, Sanikem yang menjadi Nyai Ontosoroh dari seorang Tuan Herman Mellema yang justru menghormatinya meskipun sebagai perempuan pribumi Jawa. Tuan Herman Mellema membimbing belajar, melatih bahasa Belanda, mengajari membaca, dan mendidik banyak hal—pola pikir, sikap dan mentalitas kepada Nyai Ontosoroh, tujuannya adalah agar seorang perempuan pribumi Jawa menjadi perempuan “seberkualitas” Eropa.
Tuan Herman Mellema berhasil mendidik Nyai Ontosoroh. Sang Nyai benar-benar (seolah) menjadi perempuan Eropa—terdidik. Nyai Ontosoroh menjadi perempuan yang berdaulat dengan kemerdekaannya. Maka, ketika Tuan Herman Mellema tidak pernah pulang ke rumah karena mengalami gangguan ingatan, dan kakak Ann yaitu Robert Mellema menentang Ibunya, Nyai Ontosoroh—Sang Nyai, seorang gundik mampu melawan demi mempertahankan semua peninggalan (termasuk kekayaan) yang ditinggalkan oleh Tuan Herman Mellema, ayah dari Robert Mellema dan Annelies Mellema.
Perlawanan Nyai Ontosoroh sampai kepada permasalahan status hak milik anaknya, Annelies. Nyai Ontosoroh melawan hukum Belanda di pengadilan agar Annelies dapat diakui secara hukum sebagai anak sahnya—tetapi, gagal. Diakhir kekalahan, Annelies berucap kepada Ibunya, “Kita kalah, Ma”. Apa jawaban Nyai Ontosoroh yang seorang gundik dan bernama asli Sanikem, “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”.
Sanikem yang berproses menjadi Nyai Ontosoroh bisa dijadikan sebagai gambaran bagaimana dan seperti apa perempauan Jawa ‘menjadi’. Menjadi berdaulat dengan menjadi perempuan terdidik. Nyai Ontosoroh melakukan perlawanan kultural terhadap budaya mingkem yang ada pada sebagian besar perempuan Jawa. Maka, Nyai Ontosoroh mendapatkan kemerdekaannya—sebagai manusia.
Baca tulisan menarik lainnya di Dedikasi.id!
Penulis : Sunarno (Dosen Psikologi IAIN Kediri dan Pembina LPM Dedikasi)