Site icon DẽDIKASI.ID

Sebuah Catatan dari Anak Perempuan, Wanita Karir, dan Istri yang Mati di Tangan Suaminya Sendiri

Tentang Kekerasan (Ilustrasi : tempo.com)

Tentang Kekerasan (Ilustrasi : tempo.com)

Untuk semua yang merasa perlu berempati dari lubuk hati yang paling tulus.

(DEDIKASI.ID) – Perjalanan panjang perjuangan kesetaraan dan keadilan perempuan tidak akan pernah terhenti. Tulisan-tulisan dari Mary Wollstonecraft, Nawal El Sadawi, R.A Kartini, Dewi Sartika hingga Kalis Mardiasih adalah api kesetaraan yang terus berkobar.

Jumat malam, 7 September 2023, adalah malam terakhir bagi Almh. Mega Suryani Dewi (MSD) untuk melihat kedua buah hatinya. Malam itu sekaligus adalah malam yang akan selalu mengendap di ingatan dua lelaki kecil yang melihat ibunya mati di tangan ayahnya sendiri.

Hidup Mega sebagai perempuan, wanita karir, dan istri terhenti di usia 24 tahun. Namun jalan hidup Mega akan selalu bisa menjadi pengingat, bahwa sampai detik ini masih ada perempuan yang hidup dalam jerat ketidakadilan. Dan itu cukup menjadi bukti kenapa perjuangan kesetaraan masih perlu dilanjutkan.

Jika Mega bisa bangkit dari kuburnya dan melihat respon masyarakat atas kematiannya, mungkin ia akan menulis selembar catatan. Catatan ini bebas dibaca siapa saja dan diinterpretasi apa saja.

24 Tahun yang Paripurna

Aku seorang perempuan. Hidupku sebagai seorang anak telah kutunaikan dengan menamatkan sekolah dan bekerja sebagai beauty advisor. Pekerjaan yang membuat hariku berwarna karena setiap hari melihat wajah cantik di depan kaca rias. Wajah cantik seorang anak perempuan, wajahku. Pekerjaan yang juga mampu mencukupi kebutuhanku dan keluarga kecilku, orang-orang menyebutku wanita karir.

Aku juga seorang istri. Bagian dari keluarga harmonis, kata orang-orang. Buah hati kami kedua-duanya adalah lelaki. Sungguh bahagia orang-orang menyambut anak laki-laki, ehem penyambung garis keturunan. Kedua buah hatiku dipanggil jagoan oleh masyarakat, sebuah panggilan yang tidak akan disematkan jika keduanya perempuan.

Perjalananku sebagai perempuan, wanita karir dan sebagai istri akhirnya dicukupkan oleh suamiku didepan kedua jagoan kami.

Lelaki yang Mengerjakan Urusan Domestic Adalah Lelaki Luar Biasa (yang Lazimnya) Tanpa Cacat

Kejadian dimana suamiku mencukupkan hidupku tak lantas membuat masyarakat sepenuhnya jernih melihat hidupku. Aku dicurigai menyulut emosi suamiku.

“pasti ada apa-apa”

“mungkin istrinya ngelunjak dan harga diri suami ga dijaga”

“suami rajin gitu ga mungkin tega kalo ga ada sebabnya”

Adalah kalimat-kalimat yang tidak sedikit kutemui di media sosial terkait kasusku. Pembahasannya selalu panjang dan gampang terdistract dengan sebuah keterangan dari tetanggaku bahwa suamiku adalah seseorang yang juga mengerjakan pekerjaan domestic seperti menjemur dan mencuci baju.

Aku tidak marah atas respon itu, toh sebagai seseorang yang tidak lagi ada di dunia marahku tidaklah berarti apa-apa. Aku hanya semakin sadar bahwa masyarakat kita mengagumi lelaki yang sudi mencuci piring dan menjemur baju. Kalau kata mengagumi itu terasa begitu menjilat, mungkin kata yang tepat adalah memberikan penghargaan. Penghargaan atas kesudian melakukan pekerjaan yang memang harus dikuasai semua orang yang masih hidup.

Bagi masyarakat, lelaki seperti itu dianggap sudah pasti tanpa cela. Oleh karenanya kematianku menjadi sangat mengejutkan karena pelakunya adalah lelaki tanpa cela alih-alih karena kematian itu sendiri.

Lelaki Baik yang Perlu Diakui Baik

Apa yang kualami cukup menjadi pengalamanku sendiri, aku tak ingin ada Mega-Mega lain berikutnya. Aku yakin selalu ada lelaki-lelaki baik di luar sana. Keyakinan itu setebal keyakinanku ketika mendapat KDRT dari suamiku beberapa tahun lalu. Keyakinan yang dibarengi dengan sabar yang luar biasa bahwa suamiku bisa berubah, berubah lebih baik. Kutuliskan bersama sebait panjang curhatan dan foto keluarga kecilku yang manis di laman facebook pada 14 Juli 2021.

Untuk keikhlasan yang selalu kutanam dan kusiram dengan doa-doa yang baik,
Untuk segala kemenangan di atas egoku yang kujuarai dengan tawa bahagia mereka yang tercinta,
Untuk segala apapun yang ku punya saat ini,
Alhamdulillah Ya Allah
Terimakasih telah membuatku dewasa dengan segala skenario kehidupan yg begitu banyak plotwistnya, aku hanya ingin berbahagia lebih lama lagi dan menikmati setiap detiknya,

Sepenggal curhatan itu aku yakinkan erat, pada kalian semua perempuan di luar sana.  Jika kemudian kau temui banyak lelaki yang resah dengan kematianku, bukan… bukan resah karena pembunuhanku, tapi resah karena salah satu keburukan kaumnya terungkap. Sehingga hal itu membuat mereka merasa perlu untuk unjuk gigi bahwa mereka tidak sama, merasa perlu untuk menegaskan bahwa mereka adalah lelaki pelindung kaum perempuan.

Kau tak perlu risau karena golongan haus validasi dan maskulinitas rapuh ini. Kau hanya perlu menebalkan keyakinanmu bahwa diluar sana masih ada lelaki baik yang tulus. Yang baiknya tak perlu untuk “diakui baik”.

Pesan Khusus untuk Ananda, 2 Lelaki Kecilku yang Baik

Terakhir, untuk ananda tercinta 2 jagoan kecilku yang kelak akan jadi lelaki baik…

Nak, tetaplah hidup meski dengan ingatan suram malam itu. Bukan, bukan ibu mewariskan kenangan jahat untuk terus kau bawa seumur hidup. Jadikan malam itu sebagai pembelajaran bagaimana engkau harus hidup dan mampu bersikap bijak atas suatu kondisi. Apa yang ibu katakan disini bukan karena engkau adalah lelaki, yang dalam masyarakat kita dibebani dan dianggap lebih kuat dari perempuan. Diberikan stigma yang harus selalu kuat dan berujung pada maskulinitas rapuh. Apa yang ibu pesankan adalah semata karena engkau buah hati ibu dan patut ibu hargai sebagai manusia yang berhak menjalani hidupnya tidak dalam belenggu patriarki yang juga merugikan lelaki.

Ibu harap engkau faham bagaimana harus berkasih kepada perempuan-perempuan yang nanti hidup di sekelilingmu. Berkasih karena perempuan-perempuan ini adalah saudara semanusiamu, yang perlu kau perlakukan sebagai manusia. Dan perlu kau hargai selayaknya manusia. Bukan sebagai objek, tetapi subjek yang punya kemerdekaan atas dunia dan pilihannya sendiri.

Sudah saatnya ibu kembali dan semoga catatan ini cukup menjadi renungan. Kisah hidupku, Mega Suryani Dewi selesai sebagai perempuan, wanita karir, dan seorang istri.

Baca juga artikel terkait Opini atau tulisan menarik lain di dedikasi.id!

Penulis : Finaqurrota

 

Exit mobile version