Mahasiswa sebagai ‘kaum terpelajar’ memiliki peran penting dalam pembangunan manusia. Ilmu-ilmu yang mereka dapatkan selama belajar di kampus, seharusnya dapat bertransformasi menjadi sebuah gerakan yang dapat bermanfaat bagi banyak orang. Bukankah kita tahu, bahwa tujuan dari diadakannya universitas adalah untuk mencetak pemuda-pemuda berpendidikan dan bermoral yang mampu menjadi agen perubahan di lingkungan masyarakat.
Kampus sebenarnya telah berisi Organisasi Intra Kampus dan Ekstra Kampus yang menawarakan berbagai macam ideologi dan gerakan. Namun permasalahanya (tidak semua) organisasi itu dapat berjalan sesuai tujuan didirikannya dan cenderung berhaluan politik praktis. Karena itu, akhir-akhir ini banyak gerakan yang diinisiasi oleh mahasiswa dan rakyat dikhianti oleh ego dari oknum-oknum tertentu yang hanya mencari ‘panggung’ di tengah euforia.
Melihat realitas yang seperti itu, wajah gerakan mahasiswa yang dipenuhi ego eksistensi akan dipandang remeh dan berakhir sia-sia. Perlu adanya pembaharuan gerakan mahasiswa atau mencari gerakan alternatif yang lebih efektif demi tercapainya sebuah perubahan bersama. Gerakan-gerakan koletif dari individu-individu yang berkumpul, kiranya akan menjadi sebuah solusi. Kita hanya butuh gerakan yang konsisten dan taktis, serta dekat dengan budaya akar rumput.
Perpustakaan jalanan, bagi saya adalah salah satu gerakan kolektif yang efektif guna memberikan pemahaman kepada rakyat akan pentingnya membaca dan peka terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan sistem kolektif dan dikelola bersama dapat menguatkan solidaritas antar rakyat. Di dalamnya, rakyat dapat berkumpul, berdiskusi atau sekedar mengobrol ringan tentang permasalahan yang melanda mereka.
Kehadiran perpustakaan jalanan juga dapat menjadi solusi sulitnya mendapatkan buku bacaan karena mahalnya harga buku. Tidak semua rakyat dapat membeli buku. Budaya literasi yang menurun akibat ketimpangan ekonomi dan budaya masyarakat. Tak hanya perpustakaan jalanan, gerakan literasi bisa juga berupa taman baca masyarakat yang juga dikelola secara kolektif oleh warga kampung.
Selanjutnya, gerakan alternatif lain yang dapat dibangun adalah membentuk aliansi yang berisi individu-individu, komunitas, seniman, buruh, dan berbagai elemen rakyat lainnya. Yang harus diingat adalah untuk tetap pada tujuan bersama yakni perubahan. Ego mencari ekistensi, politisasi, saling ingin menguasai dan lebih mementingkan almamater organisasi harus dihilangkan. Pemimpin aliansi adalah semua anggota. Tidak ada yang menjadi ketua. Semua memiliki kemerdekaan untuk menentukan sikapnya.
Gerakan-gerakan kolektif di atas, dapat menjadi solusi bagi kita (mahasiswa) yang ketika pulang ke kampung bingung ingin melakukan perubahan apa. Kita dapat membuat perpustakaan ala kadarnya ataupun aliansi dan perkumpulan di kampung-kampung bahkan jalanan. Mulai mengajak rakyat untuk berdiskusi hal-hal sederhana tentang sosial-politik demi membangun kesadaran bersama. Memang tidak mudah, tapi apa salahnya jika memulainya.
Siapapun yang membaca wacana utopis ini akan berpikir bahwa mustahil melakukan gerakan alternatif tanpa membuatnya menjadi organisasi (politik) yang terstruktur dan formal. Tetapi, apakah kita akan terus mempertahankannya dan terus menjadi budak dari kepentingan suatu golongan dengan menghambakan diri pada sistem? Bukankah kita sebagai manusia itu mempunyai hak merdeka atas dirinya sendiri? Kalau begitu, berkumpulnya individu-individu merdeka yang progresif jangan dilihat sebagai sebuah pemberontakan. Tetapi sebuah cahaya untuk menuju perubahan.
Saat ini kita memang membutuhkan pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan gila, anti-mainstream, dan entah apalagi penyebutannya di tengah ruwetnya masalah yang menimpa gerakan mahasiswa akhir-akhir ini. Mengutip tulisan Roy Tjiong, Ketua Dewan Pengawas INSIST, 2005-2008 dalam pengantar “Sekolah Itu Candu-Roem Simatupang”, “Ya, kita butuh banyak bacaan makar - gagasan-gagasan yang menentang kemapanan dan kemandegan, pikiran-pikiran yang tidak umum, yang memberi ilham, yang membuat terobosan baru– di masa-masa pengap dan sumpek seperti sekarang.”
Penulis: Achmad Syafi’i