(DEDIKASI.ID) – Pendidikan sebagai kata benda abstrak yang berasal dari kata “didik” dari sebuah konsep atau ide tentang bagaimana memproses, memelihara, melatih dan mengajari suatu hal kepada seseorang. Dalam perspektif Jawa proses mendidik tersebut adalah panggulawentah yang berarti mengolah, memproses. Maka, Ki Hadjar Dewantara menganalogikan seorang pendidik (guru, orang tua, atau siapapun) sebagai seorang Petani.
Paman Tani, tugas utamanya adalah mengolah dan memproses sumber daya yang ada dengan tujuan utamanya agar tanaman tumbuh subur, mekar semekar-mekarnya, kalaupun tanaman tersebut adalah tanaman buah, maka, tumbuh subur semekar-mekarnya dan berbuah. Dalam hal mengolah sumber daya, tahap awal yang dilakukan oleh Paman Tani adalah mengolah tanah sebagai persiapan lahan—dengan mengairi air secukupnya, ketersediaan sinar matahari, mencangkul, membersihkan lahan, dan membajak tanah (nggaru-luku). Mengolah tanah adalah untuk mempersiapkan lahan agar ideal.
Tugas berikutnya adalah mempersiapkan bibit tanaman yang terbaik untuk ditanam. Lalu, Paman Tani akan merawat, memberikan pupuk (ngrabuk), bahkan ndangir. Dalam momentum tertentu, ketika tanaman diserang hama (ama), maka, Paman Tani akan mengobati (nyemprot obat-obatan) sehingga tanaman tidak menjadi sakit apalagi mati, cures.
Laku Paman Tani dalam mengolah dan memproses sumber daya tersebut, sekali lagi, tujuannya adalah agar tanaman tumbuh subur, mekar semekar-mekarnya, dan berbuah sehingga memberikan manfaat kepada makhluk hidup yang lain.
Mengolah dan Memproses Sumber Daya
Sumber daya dalam konteks manusia adalah raga, pikir, dan rasa (perasaan). Bahkan ada yang menambahi spiritual. Maka, dalam konteks pendidikan sebagaimana analogi Paman Tani, tugas seorang pendidik adalah mengolah dan memproses sumber daya raga, pikir, rasa, dan spiritual tersebut.
Pendidikan dasar atau pendidikan di jenjang Sekolah Dasar sebagai kunci mengolah dan memproses sumber daya. Mengapa? Sebab, di fase dasar ini sumber daya berada di tugas optimalisasi, belum memiliki dan terpengaruh oleh berbagai hama yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan. Meskipun, tidak menafikan untuk tetap melakukan pengolahan dan pemeprosesan sumber daya di fase berikutnya (menengah dan tinggi).
Olah raga, tidak hanya berorientasi kepada kesehatan ragawi. Tetapi, berorientasi kepada keterlibatan ragawi didalam proses pendidikan. Misalkan, menyoal kedisiplinan, maka, perlu keterlibatan ragawi didalam proses pendidikannya sehingga raga terlatih berdisiplin. Dalam hal olah pikir, di jenjang pendidikan dasar perlu dilatih berpikir dalam beberapa hal. Pertama, dilatih berpikir secara benar (mikir leres) yaitu berpikir runtut dan sebab-akibat sebagai basis berpikir ilmiah. Kedua, menumbuhkan keingintahuan dengan pendekatan membuka selebar-lebarnya ruang untuk bertanya apapun. Ketiga, melatih kemampuan analitis sebagai basis berpikir kritis.
Olah rasa, ditumbuhkan kemampuan merasakan rasanya orang lain (empati) sebagai bekal hidup secara bersama-sama (bebrayan) dan merasakan keindahan (estetika). Sedangkan, olah spiritual bisa saja berbasis religius sehingga fokus kepada olah religiusitas yaitu nilai-nilai keberagamaan yang berdampak manfaat bagi kehidupan.
Tumbuh subur, mekar semekar-mekarnya, dan berbuah dalam konteks pendidikan berarti tumbuh subur, mekar semekar-mekarnya, dan berbuah daripada sumber daya-sumber daya tersebut. Sumber daya raga, pikir, rasa, dan spiritual yang tumbuh subur, mekar semekar-mekarnya, dan berbuah ini adalah sebuah capaian kamanungsan. Tujuan pendidikan dengan demikian adalah menjadikan manusia berkemanusiaan.
Salah Kedaden
Salah kedaden berarti “salah kejadian” atau “sesuatu yang salah terjadi” atau “kejadian/terjadinya tidak sesuai dengan yang semestinya”. Tanaman yang salah kedaden, berarti bisa saja tanaman yang tidak sesuai dengan yang semestinya. Misalkan, tanaman Jagung yang semestinya bisa di panen 3-4 bulan, tetapi sudah lebih dari 5 bulan tidak bisa di panen. Atau, tanaman Jagung yang buah Jagungnya bogang (tidak berisi penuh). Atau, tanaman Jagung mengalami sakit bahkan mati di tengah-tengah masa pertumbuhan dan perkembangan.
Salah kedaden dalam konteks tanaman tersebut berasal dari beberapa faktor yaitu faktor lahan, faktor bibit (tanaman), faktor lingkungan, dan faktor Pak Tani. Faktor lahan sebagai salah kedaden bisa disebabkan karena lahan yang tidak ideal. Faktor bibit (tanaman) bisa dikarenakan bibit yang tidak unggul atau tanaman yang rentan terserang hama. Faktor lingkungan bisa dari cuaca, peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan terjadi. Sedangkan faktor Pak Tani bisa disebabkan oleh kesalahan mengolah dan memproses tanaman. Kesalahan tersebut bisa karena ketidaktahuan (Petani amatiran), bisa karena kesalahan terkait konteks tertentu.
Rumah, lembaga persekolahan atau perguruan tinggi adalah lahan bagi pendidikan. Anak, murid, dan mahasiswa adalah bibit (tanaman). Masyarakat dan sistem pendidikan sebagai lingkungan pendidikan. Dan orang tua, guru, dosen atau siapapun yang mendidik adalah Pak Tani. Kesemuanya bisa menjadi sumber salah kedaden dalam hal pendidikan.
Apakah rumah, lembaga persekolahan atau perguruan tinggi adalah rumah, lembaga persekolahan atau perguruan tinggi yang menumbuhsuburkan, memekarkan semekar-mekarnya dan menjadi berbuah atas semua sumber daya? Apakah masyarakat dan sistem pendidikan yang diberlakukan adalah sistem pendidikan yang menumbuhsuburkan dan memberikan ruang sehingga sumber daya bermekaran? Atau, justru sistem pendidikan dengan sengaja dirancang berkebalikan? Misalkan, sistem pendidikan yang dirancang bukan berorientasi agar manusia berkemanusiaan, tetapi agar tidak berkemanusiaan (dehumanisasi)—ilang kamanungsan. Apakah orang tua, guru, dosen atau siapapun yang mendidik adalah orang-orang yang tidak memiliki jiwa pendidik? Tidak memiliki pengetahuan bagaimana mendidik yang menunbuhsuburkan dan memekarkan semekar-mekarnya bahkan berbuah sehingga bisa bermanfaat bagi makhluk lain?
Seorang Intelektual adalah Tanduran Petingan
Taruhlah, mulai dari lahan, bibit (tanaman), lingkungan, dan Pak Tani semua cenderung menjadikan salah kedaden. Banjur kudu kepiye?
Dibutuhkan tanaman yang tumbuh dan berkembang, masih bisa mekar meskipun tidak semekar-mekarnya, dan berbuah meskipun tidak berlimpah ruang dari lahan atau bibit (tanaman) atau lingkungan atau Pak Tani yang (masih) menyelamatkan. Tanaman tersebut saya sebut sebagai tanduran petingan (tanaman pilihan). Tanaman tersebut menjadi harapan bagi proses tanam berikutnya. Tanaman yang (masih) terselamatkan tersebut dalam konteks pendidikan adalah seorang intelektual.
Seperti apakah seorang intelektual? Pertama, orang-orang yang mendayagunakan pikiran sehingga menghasilkan pemikiran-pemikiran. Terkait mendayagunakan pikiran, seorang intelektual akan berdaya pikir kritis terhadap permasalahan/fenomena/fakta-fakta yang ada, sebab, keintelektualan adalah merdeka dan bebas. Lalu, menawarkan gagasan-gagasan sebagai pemecahan permasalahan. Kedua, memiliki kesadaran untuk terlibat. Seorang intelektual tidak tinggal diam terhadap permasalahan/fenomena/fakta-fakta yang dipikirkan dan diberikan tawaran gagasan penyelesaiannya. Ketiga, adalah orang-orang yang memikirkan orang lain, masyarakat, bangsa, Negara. Dan keempat, seorang intelektual adalah orang yang memikirkan masa depan bahkan memikirkan ratusan tahun yang akan dating demi peradaban manusia.
Maka, coba jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
Apakah Anda gelisah terhadap fakta-fakta manipulatif pembuatan Undang-Undang baik di Mahkamah Konstitusi atau DPR?
Apakah Anda gelisah terhadap fakta-fakta pembungkaman kritik kepada Pemerintah?
Apakah Anda gelisah terhadap fakta-fakta kediktatoran seorang Pemimpin?
Apakah Anda gelisah terhadap masa depan demokrasi di negeri ini?
Apakah Anda gelisah terhadap fakta-fakta perilaku koruptif yang dilakukan oleh para elite dan pejabat dengan tidak punya rasa malu?
Apakah Anda gelisah terhadap fakta-fakta pelanggaran HAM?
Apakah Anda gelisah terhadap fakta-fakta kekerasan di lingkungan dan di negeri ini?
Apakah Anda gelisah terhadap fakta-fakta kerusakan lingkungan karena pertambangan Nikel, dll?
Apakah Anda gelisah terhadap fakta-fakta pembodohan dan pemiskinan rakyat (wongcilik) secara sistemik?
Apakah Anda gelisah terhadap fakta-fakta para mahasiswa yang acuh terhadap kondisi sosial dan politik?
Apakah Anda gelisah terhadap solidaritas antara rakyat (wong cilik)?
Apakah Anda gelisah terhadap nasib masa depan manusia dan kemanusiaan?
Apakah Anda gelisah terhadap nasib generasi mendatang?
Apabila jawaban Anda adalah “Iya. Saya gelisah dengan semua fakta-fakta tersebut”, maka, Anda diam-diam memiliki tanda sebagai seorang intelektual. Anda adalah harapan bagi tumbuh suburnya tanaman-tanaman yang ditanam Pak Tani sehingga mekar semekar-mekarnya dan berbuah. Anda adalah harapan pepadhang peradaban dengan membawa obor keintelektualan.
Baca tulisan menarik lainnya di Dedikasi.id!
Penulis : Sunarno (Dosen Psikologi IAIN Kediri dan Pembina LPM Dedikasi)