dedikasi.id – Peringatan hari lahir Pancasila yang jatuh pada 1 Juni mengacu pada pidato Presiden Soekarno saat sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Soekarno mengajukan rumusan dasar negara yang lima pokoknya sebagai berikut: (1) Kebangsaan Indonesia; (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan; (3) Mufakat atau Demokrasi; (4) Kesejahteraan Sosial; (5) Ketuhanan yang Maha Esa.
Pidato inilah yang menjadi konsep dan rumusan awal “Pancasila” yang pertama kali dikemukakan oleh Soekarno sebagai dasar negara Indonesia Merdeka.
Sejak tahun 2017, tanggal 1 Juni resmi menjadi hari libur nasional melalui Keppres No. 24 Tahun 2016, “Menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. Tanggal 1 Juni merupakan hari libur nasional,” demikian bunyi Keppres tersebut dilansir dari laman setkab.go.id.
Untuk memeriahkan Pekan Pancasila 2017, yang dirayakan untuk memperingati Hari Kelahiran Pancasila pada 1 Juni, Presiden Jokowi memperkenalkan slogan “Saya Indonesia Saya Pancasila” melalui laman media sosial pribadinya. Sejak saat itulah slogan mulai di viralkan oleh warganet. Pemerintah pun membentuk lembaga yang bernama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang ketua dewan pengarahnya adalah salah satu putri Proklamator yang juga presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri. Masyarakat pun sudah pandai dalam menilai seberapa besar kinerja dan pengaruh lembaga itu yang dalam praktiknya belum terlalu signifikan.
Libur tiap tahunnya sudah, tapi sudahkah kita benar-benar mengamalkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya?
Dalam sebuah tayangan talkshow di salah satu stasiun TV swasta yang tayang pada September 2017, Prof. Salim Said, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia mengatakan, “Bagaimana kamu menjalankan Pancasila? para pemimpin kita itu melanggar sumpah. Kenapa Indonesia tidak maju? Kenapa Singapura maju? Kenapa Korea Selatan maju? Taiwan maju? Israel maju? Karena ada yang mereka takuti. Taiwan takut sama Cina, Korea Selatan takut sama Korea Utara, Singapura takut karena mereka mayoritas orang Tionghoa berada ditengah lautan Melayu, Israel takut karena berada ditengah lautan Arab, kalau dia ngga hebat dikremus dia! Indonesia? Tuhan pun tidak ditakuti, jika Anda bertanya kenapa Indonesia tidak maju ya karena Tuhan pun tidak ditakuti,” tegasnya. Lantas, dimana wujud “Ketuhanan Yang Maha Esa?”.
Beralih ke sila kedua. Beberapa kasus tindakan represif oleh aparat yang sering kita jumpai nampaknya menjadi bukti kurangnya nilai kemanusiaan di negeri ini, diantaranya saat terjadi demonstrasi, ketika warga mempertahankan tanah leluhurnya yang tiba-tiba digusur secara paksa. Beradabkah? Hal ini berbanding terbalik ketika ribuan TKA Cina berdatangan ke Indonesia yang seolah diberikan karpet merah dengan alasan mereka akan mengerjakan proyek strategis nasional. Berdalih demi membuka 10 juta lapangan kerja bagi rakyat namun mendatangkan pekerja asing. Adilkah?
Hal-hal yang berkaitan dengan Persatuan Indonesia rasanya juga belum terlihat wujudnya. Terjadi saat pemilu misalnya, kita berkaca pada pilkada Jawa Timur terdapat 2 calon yang keduanya adalah tokoh sentral ormas keagamaan, yang satu adalah Ketua umum Muslimat NU, yang satu lagi adalah salah satu ketua di PBNU, dua-duanya saling beradu argumen dan gagasan, dua-duanya sama-sama didukung ulama, terbelah menjadi 2 kubu padahal sama-sama NU. Kejadian ini terulang kembali ketika pemilu serentak 2019, dua kubu yang sama bertarung kembali, namun ada yang berbeda yaitu wakil yang mereka gandeng. Yang satu menggandeng pengusaha, tampan, saat itu menjabat wakil gubernur DKI Jakarta. Kubu petahana menggandeng tokoh sepuh NU yang juga ketua umum MUI yaitu KH. Ma’ruf Amin. Kedua kubu sama-sama mengklaim didukung ulama besar, saling sindir dan saling serang.
Akhirnya kubu petahana kembali melenggang. Kubu yang kalah pun diharapkan legowo dan menjadi oposisi sebagai penyeimbang pemerintahan, tapi nyatanya masuk juga ke pemerintahan. Mungkin dapat dilihat juga setiap politisi yang akan bertarung pasti akan membawa nama Tuhan dan beretorika demi bangsa dan negara. Betapa banyak pendukung yang kecewa namun ini yang terjadi sebenarnya. Ketika sudah duduk di pemerintahan pun masih saja saling serang dan sindir, apalagi pihak istana yang menurut orang memiliki buzzer yang tugasnya melibas mereka yang kontra dengan sang penguasa.
Perwujudan sila ke empat “Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan” hanya berlaku saat pemilu, Demokrasi Lima tahun sekali rasanya pantas untuk menggambarkan hal ini. Suara masyarakat hanya dimanfaatkan untuk mendulang suara, tapi sekarang pun juga banyak lembaga survei yang bisa disewa mereka-mereka yang tentu memiliki biaya. Contoh bulan Maret lalu, sempat menjadi sorotan adalah ketika orang dekat Presiden ikut “membegal” sebuah partai politik. Ya, sebut saja Jendral M, mantan panglima TNI yang katanya memiliki jiwa kesatria menunjukkan etika buruk dalam berdemokrasi. Ibarat kata, malu tapi mau. Meskipun hasil kongres kubunya ditolak Kemenkumham, dia tetap ngotot melanjutkan ke persidangan.
Contoh lain tidak mencapai mufakat adalah ketika pemerintah mengesahkan revisi UU KPK yang akhirnya mengundang protes dari berbagai elemen masyarakat, akademisi, dan mahasiswa yang terjadi pada September 2019 lalu. Demo besar nampaknya tak mengubah sikap pemerintah. Lembaga KPK yang dulunya independen, bertanggungjawab kepada publik, kini masuk ke ranah eksekutif yang artinya, KPK kini adalah lembaga negara yang bertanggungjawab kepada Presiden.
Kembali lagi ke soal TKA Cina yang diberi karpet merah untuk bertandang sesuka hati nya, dengan dalih investasi tapi mencekik rakyat sendiri. Ada hal yang membuat kita semua marah, geram, dan kecewa, saat masyarakat dilarang mudik lebaran tapi penerbangan dari Wuhan dibuka lebar. Jika hal ini terus dibiarkan tentu akan menimbulkan kecemburuan sosial dan apakah cita-cita mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indoensia akan terwujud? Untuk menjawabnya izinkan saya mengutip penggalan lirik lagu dari Ebiet G. Ade, coba kita tanya pada rumput yang bergoyang.
Baca juga artikel terkait Opini atau tulisan menarik lain di dedikasi.id
(dedikasi.id – Opini)
Penulis: M.I.R.
Editor: Cans