Site icon DẽDIKASI.ID

Perempuan dan Pelecehan Seksual; Soal Keberpihakan yang Timpang.

dedikasi.id – Menjadi seorang korban atau penyintas pelecehan seksual tentu tidak pernah menjadi harapan seorang perempuan. Organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO) menegaskan bahwa pelecehan seksual telah menjadi masalah global. Studi yang dilakukan WHO dengan London School of Hygiene & Tropical Medicine dan Dewan Riset Medis Afrika Selatan menyatakan bahwa satu dari tiga perempuan di dunia berpotensi mengalami kekerasan fisik atau seksual di hidupnya oleh seseorang yang ia kenal. Dalam studi tersebut, daerah yang paling terkena dampaknya adalah Asia Tenggara wilayah Mediterania timur dan Afrika.

Afrika memiliki rekor terburuk dengan persentase 45,6% kekerasan seksual yang dilakukan oleh kombinasi pasangan dekat dan kekerasan seksual non pasangan disusul oleh Asia Tenggara dengan 40,2 %.

Secara umum, perempuan lebih sering menjadi korban pelecehan seksual namun tidak menutup kemungkinan laki – laki juga bisa menjadi korban. Begitu pula menjadi pelaku, meskipun mayoritas pelaku adalah laki – laki, tidak menutup kemungkinan seorang perempuan bisa melakukannya. Menurut catatan tahunan 2018 dan 2019 Komisi Nasional Perempuan, telah terjadi 14.719 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 4.898 kasus merupakan kasus pelecehan seksual. Angka tersebut diyakini sebagai angka “semu” karena masih banyak kasus yang tidak dilaporkan.

Mari saya ingatkan kejadian beberapa waktu yang lalu yaitu kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh salah seorang anak dari anggota DPRD Bekasi yang menambah jejeran kasus pelecehan seksual di Indonesia. Belum lagi kasus pencabulan gadis 16 tahun di Kalimantan Selatan yang dilakukan oleh 17 pemuda secara bergilir sejak April hingga Mei 2021. Menilik beberapa kasus tersebut, kalimat “Protect Your Daughter” kini agaknya perlu diganti menjadi “Educate Your Son”. Tidak manusiawi rasanya jika selalu menyalahkan korban. Dalam kenyataannya masih banyak masyarakat yang menyalahkan dan menghakimi para korban. Tidak jarang orang berkomentar “Salah sendiri menggunakan pakaian terbuka” atau “Oh itu terjadi karena kamu tidak menggunakan hijab.”

Tak perlu ditutupi, kasus sexual harassment di ruang publik sering terjadi kepada perempuan yang menggunakan pakaian tertutup. Lalu masihkah kita tetap menyalahkan pakaian yang dikenakan korban?

Memang, banyak korban usai mendapatkan pelecehan seksual merasa malu–dan pasti tanpa diragukan lagi–kemudian menganggap itu sebuah aib, sehingga memilih untuk diam menutupinya tanpa melapor. Jika hal ini terus terjadi, maka kasus pelecehan seksual akan menjadi lebih sulit untuk diungkap. Stigma masyarakat yang cenderung menyalahkan yang tak bersalah akan membuat korban pelecehan seksual semakin yakin bahwa diam adalah hal yang benar untuk dilakukan. Jika pola pikir seperti ini terus ada dalam masyarakat, hal ini akan menjadi senjata pembunuh bagi para korban.

Tidak jarang kekerasan seksual di Indonesia berakhir dengan cara kekeluargaan yaitu dengan menikahkan korban dengan pelaku. Padahal jika korban dipaksa hidup dengan predator yang menghancurkan dirinya kemungkinan besar akan menyebabkan trauma yang lebih mendalam.

Maka dari itu pemerintah dan masyarakat diharapkan mampu bersatu dalam memerangi kasus kekerasan seksual yang kian hari kian sering terjadi bahkan kepada anak di bawah umur. Tiap tahun jumlah kasus kian meningkat, maka sudah sepatutnya peningkatan kebijakan hukum terkait hal ini juga ditingkatkan untuk memberi efek jera kepada pelaku. Sebagai masyarakat Indonesia yang terkenal memiliki toleransi yang tinggi seharusnya merangkul korban dan membantu untuk menyembuhkan traumanya bukan malah menjauhi dan mengucilkan korban bahkan menyalahkannya. Kita tidak seharusnya menghakimi secara sepihak, sehingga korban berani untuk berbicara dan kasus sexual harassment dapat mudah teratasi.

Baca juga artikel terkait Opini atau tulisan menarik lain di dedikasi.id

(dedikasi.id – Opini)

Penulis: Yosi Novita

Editor: Can/El

Exit mobile version