Site icon DẽDIKASI.ID

Digantung Perasaan Saja Tidak Enak, Apalagi Digantung Kebijakan

Ya dikencengi saja niatnya, Dik, ya. Tidak apa-apa, lillahi ta’ala karena sesuatu yang diniatkan karena Allah, inysa allah tidak akan menemui kekecewaan.

dedikasi.id – Bukan main, memang kampus kita ini sesuai dengan filosofi yang diharapkan melalui logo kampus yakni hijau yang mana warna hijau diafiliasikan sebagai warna yang adem, ayem, tanpa konflik –amin.

Bukan apa – apa, sebenarnya ini mungkin hanya keresahan lingkar kecil mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi KIP – Kuliah 2020. Hanya lingkar kecil saja, jadi mungkin tidak penting juga. Kalau dalam ilmu komunikasi kita kenal yang namanya teori spiral keheningan, simple-nya, teori ini menjelaskan mengapa kelompok minoritas cenderung “cari aman”. Untuk ribetnya, kita tak perlu bahas disini lah, bisa panjang nanti, xixixi. Agendakan ngops, saja.

Oh iya, sebelum masuk pembahasan, sebagai penulis yang sayang pembaca, saya ingatkan sekali lagi, ini opini kelompok minoritas. Jadi, ya, tidak penting – penting amat.

Pembaca yang budiman pasti tau di kampus kita mahasiswa penerima KIP ini kan istimewa, ya. Buktinya, pihak kampus menaruh harapan besar pada pemuda – pemudi tanggung ini. Sebagai manusia yang nafasnya bergantung pada pajak rakyat, mahasiswa KIP harus jadi agent of change, agent of development apa itulah yang selalu digaung – gaungkan ketika memonitoring kami, generasi tanggung.

Dan kampus kita ini hebat, loh, buktinya tidak sekadar menaruh harapan terus pergi, (eh) kampus kita benar – benar membuktikan harapan yang dibawanya dengan sangat – sangat memperhatikan kehidupan mahasiswa KIP. Buktinya selama 2 tahun, kami diwajibkan mondok demi terbentuknya kami menjadi insan yang sesuai visi kampus, cerdas berkeilmuan dengan wawasan keislaman dan keindonesiaan yang pangkalnya adalah kontribusi nyata ke masyarakat. Masyaallah gimana ga tambah cinta sichhh.

Kami sebagai pemuda yang juga kepingin berkontribusi nyata tentu menyambut ini dengan sukacinta, sudah terbayang karpet merah kami menjadi budak korporat generasi bangsa yang berkontribusi positif, generasi pembawa inovasi dan perubahan. Kalau saya pribadi, sih, generasi yang sedikit nakal dan banyak akal (walau banyak akalnya belum, xixixi). Maklum saya jamaah Mojokiyah.

Oke, lanjut. Singkat cerita, tahun lalu kami benar – benar merealisasikan langkah – langkah ciamik kampus untuk mendayagunakan kami, kami berangkat mondok, yey! Waktu itu, keberangkatan pondok sih pihak kampus bilangnya manut sama pengelola pondok yang dipilih saja, karena pandemi ini tentu ada perubahan kebijakan. Ditakutkan tidak sesuai kalau kampus yang menentukan -belum nanti kehabisan kuota di pondok, wah berat!- nanti biar hitungan 2 tahunnya dihitung pihak pondok saja.

Selama satu semester lebih kami enjoy di dalam pondok, tiba – tiba muncul pesan di grup WhatsApp yang bikin makdeg ngalah-ngalahin notif chat dari kamu. Bunyi pesan itu, intinya begini; info tidak valid jangan diterima mentah – mentah. Kita ini hanya menganut ke 3 orang saja, para pengelola itu, bukan yang lain, bukan akademik. Pengelola dari awal belum pernah menginstruksikan mondok. Sudah ya, jelas, belum ada instruksi mondok.

Nah, loh. Kami sebagai pemuda -yang masih- tanggung tentu bingung, dong. Lah bagaimana, dulu kami juga berangkat gercep atas instruksi siapa? Kok sekarang beda, ya mungkin kami dulu masih kurang mahasiswais, ya (mahasiswa kan yang pemikirannya kritis itu toh) masih suka menelan mentah mentah infomasi, langsung udrak udruk sana sini asal berangkat. Ya, tak mengapa sih, kami juga akhirnya memegang teguh bahwa tidak ada buruknya kalau belum terhitung mondok. Ya, nanti kalau pandemi belum selesai dan tidak dihitung lagi, berlalu sampai semester tua di pondok ya tidak apa-apa kan, dijalani saja toh, wong di pondok juga baik dan benar, plus berpahala lingkungannya.

Lagian, mengerjakan skripsi di pondok itu enak, loh. Bagaimana tidak enak, hla wong tiap hari kita lihat eh temenku masih otw bab 2 nih, tak apa lah aku memaksimalkan bab 2 ku dulu, going the extra miles bahasa kerennya, mah, memaksimalkan semua kesempatan yang ada, ya kan.

Sebagai pemuda tanggung yang sekali kali ketika matkul filsafat membaca teori Relativitas Einstein, kami mak slenting auto kepikiran, wah sepertinya teori relativitas ini contoh nyatanya ya kebijakan mondok angkatan kita ini, mwehehe. Asik banget ga si kami belajar sambil praktek :V.

Ee, tapi bener kan, ya, seumpama nanti mondok kami realitanya sudah 2 tahun dan pandemi belum selesai, akhirnya kami harus nambah lagi. Itu relativitas waktu kan ya, kenyataannya kami sudah mondok 2 tahun, tapi pada catatan waktu pengelola, kami tak tercatat pernah mondok.

Saya pribadi jadi teringat kalau sebenarnya tujuan mondok ini kan ada kaitannya dengan upaya pembentukan SDM berkualitas sesuai visi kampus, tidak mesti sih, tapi sebenarnya kualitas ini kan ditempa dari 2 arah ya. Kalau ibu saya bilang sih ya, harus balance antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Saya sih ini hanya ngutip ibu saya saja tidak ada tendensi apa – apa.

Balik lagi ke mondok, soal hitung – hitungan 2 tahun ini memang cukup pelik kalau pakai teori relatif, wong cinta saja yo pelik kalau pakai teori relatif aku cinta kamu. Buktinya dengan cukup ngabari kamu dan tetap ngabari yang lain -karena relatif, ya sah sah saja to! Bagaimana kalau saya tawari ngitung yang nyata saja, kan mudah nanti biar pondok masing – masing yang meloloskan apakah masing masing dari kami ini sudah terhitung 2 tahun atau belum. Esensinya kan kami (nanti) sudah hidup dan menerima mutiara – mutiara penting di pondok selama 2 tahun, juga (nanti) sudah naik kelas Diniyah 2 kali, sudah tidak mempelajari syabrowi lagi tapi jurumiyah atau bahkan imrithi, enak toh. Masa takut kami kong kalikong sama pengurus pondok biar diloloskan, ya tidak lah. Kami tidak sejahat itu kok, kan tadi sudah saya bilang kami ini cinta kampus masa iya cinta membohongi, kan tidak.

Itu saran saja sih, tak harus dipikirkan sekarang. Nanti juga boleh, kalau lupa kami ingatkan deh, pasti. Masalah tumpang tindih informasi tadi sebenarnya kami pribadi tidak ambil pusing, tapi mengingat ini institusi besar kok ya berjuta rasanya. Memang benar, tiap lembaga pasti punya susunan kepegawaian yang masing-masing membawahi bidang tertentu. Tetapi kan ya lucu kalau ada ketidaksinkronan. Ini sebenarnya kurang koordinasi, tidak ada koordinasi atau memang pegawainya saja yang saking ramahnya suka saling bantu, sampai akhirnya blunder memberi statement karena tidak begitu memahami jobdesc temannya. Jujurly, kami butuh kepastian, sih. Walau pada akhirnya sama seperti teori spiral keheningan pada umumnya, kami yang minoritas dan berada di pusaran teman – teman yang mungkin nyaman di pondok sampai after graduate, memilih untuk menepi dan iya iya saja.

Cuma mau bilang, Digantung itu tidak enak!

Oh iya lupa, teori tadi sekadar cocoklogi, kalau cocok benar alhamdulillah kalau tidak , ya, tak belajar lagi, akademisi boleh salah tapi tidak boleh bohong, terima kasih.

Baca juga artikel terkait Opini menarik lainnya di dedikasi.id

Penulis: Fina Qurrota

Exit mobile version