Site icon DẽDIKASI.ID

GEMPURAN BUDAYA AKADEMIK

ilustrasi: Dedikasi

ilustrasi: Dedikasi

(DEDIKASI.ID) – Harga sebuah pikiran, demikian Prof. Dr. Kasiyan seorang Guru Besar Fakultas Bahasa, Seni dan Budaya Universitas Negeri Yogyakarta memberikan judul esai pemikirannya di Kompas pada tanggal 17 Oktober 2025. Kasiyan memberkan kritik tajam terhadap berbagai realitas di dunia akademik yang terjadi kurang lebih dua dekade yaitu publikasi ilmu pengetahuan di jurnal-jurnal online. Sebuah tradisi akademik yang pada akhirnya menentukan sebarapa berharganya ilmu pengetahuan bagi akademisi dan masyarakat.

Ada beberapa sorotan kritis yang ditulis oleh Kasiyan melalui esai tersebut. Diantaranya, pertama, ilmu pengetahuan yang terkunci oleh sebuah sistem berbayar (paywall). Tidak hanya bagi mereka yang akan mempublikasi, tetapi juga bagi mereka yang akan mengakses ilmu pengetahuan tersebut. Kedua, industrialisasi ilmiah yang bersifat menyeluruh dan besar-besaran sehingga menjelma menjadi bisnis publikasi yang eksklusif sebab muncul persyaratan dan ketentuan berlalu (terms and conditions aplly). Ketiga, orientasi publikasi ilmu pengetahuan adalah angka dan algoritma. Apakah seorang akademisi mempublikasikan naskah artikelnya ke jurnal terakreditasi nasional atau internasional? Apakah mempublikasikan ke jurnal Sinta 1, atau 2, ataukah 6? Atau apakah naskah artikelnya terpublikasi ke jurnal terindeks Scopus? Semua itu menjadi ukuran karena terkonversi dalam nilai angka. Juga, apakah artikel-artikel yang terpublikasi tersitasi oleh banyak akademisi lainnya? Keempat, absurditas terjadi pada para ilmuwan yang melakukan perlawanan terhadap realitas eksploitasi penerbitan pun “mau tidak mau” harus memasuki sistem global tersebut. Kelima, berlimpah naskah terbit, namun seolah menjadi naskah sampah. Sebab, di balik naskah adalah deretan capaian angka bukan naskah yang bermakna. Keenam, penyebaran ilmu pengetahuan melalui penerbitan online dengan sistem paywall dan terms and conditions aplly yang mengeksploitasi ilmu pengetahuan pada akhirnya para pengambil manfaat adalah kelompok akademisi itu sendiri, bukan masyarakat luas di luar akademisi.

Kini, budaya akademik yang sedang berlaku adalah kapitalisasi publikasi ilmiah. Faktanya adalah siapkan naskah dan keuanganmu, maka, terbitlah artikelmu. Atau, kalau tidak, silakan mundur dan bersiaplah binasa! Publish your article or perish.

Sampai disini kita menjadi mengerti berapa harga pikiran yang dilahirkan oleh para akademisi. Bahwa pikiran berupa ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh para akademisi adalah seberapa rupiah dan dolar yang dimiliki oleh Si akademisi itu sendiri. Misalkan, seorang akademisi sebut saja seorang dosen memiliki keinginan untuk menerbitkan naskah artikelnya ke jurnal terakreditasi Sinta 2 saja, lalu, oleh sistem jurnal dikunci dengan paywall sekian juta rupiah. Apabila Si dosen tidak mampu membayarnya, maka, selamat mengundurkan diri. Seberkualitas tinggi apapun naskah artikel apabila tidak dapat memenuhi persyaratan dan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh sistem, maka, pikiran berbentuk naskah artikel ilmu pengetahuan menjadi (tidak) berharga.

Sejarah ilmu pengetahuan jauh sebelum digempur kapitalisasi publikasi ilmiah adalah sejarah kesakralan. Kesakralan tersebut ada pada tugas utama daripada ilmu pengetahuan yaitu memberikan manfaat kepada masyarakat dan peradaban manusia. Sebab, temuan-temuan, pemikiran-pemikiran, dan gagasan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan merupakan kebenaran ilmiah sebagai proses menemukan kebenaran. Ilmu pengetahuan pada akhirnya tidak hanya dianggap sakral tetapi juga digadang-gadang kebermanfaatannya didalam menyelesaikan permasalahan kehidupan manusia dan meningkatkan kualitas peradaban. Dititik ini, ilmu pengetahuan sebagai pembebasan. Pembebasan terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan manusia—ilmu pengetahuan menjadi obor, pepadhanging urip lan jagad.

Melalui tugas utama yang diemban oleh ilmu pengetahuan tersebut, maka, ilmu pengetahuan perlu didiseminasikan, disebarluaskan. Laku diseminasi ilmu pengetahuan ini bertujuan agar masyarakat luas dapat mengambil manfaat nyata dari berbagai temuan, pemikiran, dan gagasan yang dihasikan oleh para akademisi.

Laku diseminasi ilmu pengetahuan dengan demikian adalah laku idealisme yang tidak hanya memenuhi tugas utamanya sebagai ilmu pengetahuan, namun juga sebagai upaya pertukaran ide. Sebab, ide-ide yang dipertukarkan, diperdebatkan, diujikan kepada seluas-luasnya akan memperoleh penguatan-penguatan gagasan sehingga temuan-temuan, pemikiran, dan gagasan semakin mendekati kebenaran itu sendiri.

Gempuran Budaya Akademik

Akar dari budaya akademik adalah berpikir. Sebab mendayagunakan pikiran untuk berpikir, maka, muncul beragam pertanyaan-pertanyaan keingintahuan. Keingintahuan yang berbentuk pertanyaan-pertanyaan, kemudian memunculkan proses mencari kebenaran terhadap apa yang sedang dipertanyakan.

Kapitalisasi ilmu pengetahuan terkait penyebaran artikel ilmiah yang serba Online Journal System dengan persyaratan dan ketentuan yang berlalu, salah satunya dengan penguncian melalui sistem berbayar. Orientasi akademik yang sudah bukan lagi ilmu pengetahuan, tetapi kepada capaian angka dan algoritma. Juga, digempur oleh perkembangan Artificial Intelence (AI) dengan berbagai platform aplikasi yang ternyata tugas-tugas akademik bisa diserahkan proses perampungannya kepada AI. Maka, muncul pertanyaan mendasar untuk para akademisi, “apa kabar budaya berpikir?” yang menjadi akar ilmu pengetahuan.

Anak saya, Madjid Panjalu, berusia 11 tahun. Beberapa hari yang lalu saya ajak ke kampus. Mengagetkan, sebuah pertanyaan tetiba muncul dari Madjid, “Pak. Apa maksudnya banner-banner yang ditempel di pinggiran jalan itu?”. Saya yang tidak membaca banner-banner tersebut balik bertanya, “Banner apa ta Djid?”. Madjid mengeja ulang apa yang diingatnya dari membaca, “Jasa joki tugas kuliah”.

Kabar isi banner yang dibaca Madjid tersebut cukup menyambar saya. Mengapa cukup? Karena sebagai dosen, fenomena dari apa yang tertulis di banner tersebut sudah bukan infromasi baru. Cukup menyambar karena mengapa anak saya harus membacanya di sekitar kampus Bapaknya.

“Madjid tahu apa maksud dari “Jasa joki tugas kuliah?”, tanyaku sambil kami melanjutkan perjalanan. “Tahu lah”, tegasnya. Madjid menjelaskan bahwa “kalau ada tugas-tugas kuliah bisa dibuatkan”.

“Lalu menurut Madjid, bagaimana dengan mahasiswa yang menjokikan tugasnya”, tanyaku lebih lanjut. Jawaban Madjid semakin menyambar idealisme saya, “Enaklah! Selama punya uang, bisa bayar joki, tugas-tugas selesai”.

“Menurut Madjid, enaknya dimana? Kan mahasiswa harus bayar. Iya kalau si mahasiswa punya uang banyak. Kalau tidak?”, tanyaku. Madjid menjawab dengan lugas, “Enaknya, mahasiswa tidak perlu mikir tugas”.

Apabila, proses perkuliahan, berbagai penugasan, penelitian, diskusi, dan yang lainnya sebagai pembudayaan akademik sudah digempur dengan berbagai macam sistem dan teknologi yang mempermudah. Maka, apa kabar budaya akademik? Apakah dosen dan mahasiswa masih mengutamakan berpikir untuk ilmu pengetahuan?

Lebih jauh, bagaimana kabar berpikir pada generasi? Apakah era teknologi dengan AI sebagai bukti percepatan perkembangannya akan mewarisi “sregep mikir” kepada generasi atau sebaliknya mewariskan “lumuh mikir?”. Sementara, fenomena pada generasi yang lahir di tahun 2013-an ke sini yang saat ini masih dijenjang Sekolah Dasar, ketika mendapatkan tugas dari Guru, para murid banyak yang meminta bantuan penyelesaiannya melalui google lens dan platform AI lainnya.

Bayangkan, gempuran terhadap mau berpikir sebagai akar budaya akademik—kini, digempur dari berbagai arah. Para akademisi yang masih tersisa idealismenya yang konon sebagai kelompok intelektual perlu berpikir keras untuk membuat kanal-kanal baru sebagai tameng gempuran budaya akademik. Apabila tidak dilakukan, kita semua bisa saja skeptis terhadap perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan. Masa depan manusia sebagai mahkluk yang berpikir pada akhirnya akan dipertanyakan besar-besaran oleh manusia itu sendiri.

Baca tulisan menarik lainnya di Dedikasi.id!

Penulis : Sunarno (Dosen Psikologi UIN Kediri dan Pembina LPM Dedikasi)

Exit mobile version