(DEDIKASI.ID) – Esoterika berasal dari kata esoteris yang berasal dari Yunani kuno (esoterikos) berarti suatu hal yang hanya dapat dimengerti oleh kelompok tertentu. Dengan demikian, apabila esoteris memiliki arti sesuatu yang bersifat khusus, rahasia dan terbatas. Maka, esoterika adalah pengetahuan yang sifatnya khusus, rahasia dan terbatas dan hanya dimengerti oleh kelompok kecil tertentu—sesuatu tersebut ditujukan dan hanya dipahami bagi orang-orang terpilih, sebab, terkait dengan hal yang tersembunyi (ruhani; spirit).
Kamis, 14 November 2024, melalui kanal YouTube NU Online saya menyimak pidato Menteri Agama Prof. Dr. Nasaruddin Umar (Pak Nasar). Memang, sejak Presiden Prabowo menunjuk dan kemudian melantik Pak Nasar sebagai Menteri Agama, saya secara pribadi membatin, “wah, ini sosok baru. bakal membawa misi baru untuk Kementerian Agama”. Harapan kebaruan saya itu muncul, tentu, berdasarkan pengetahuan saya yang minimalis tentang sosok Pak Nasar. Sekali lagi, menurut saya, Pak Nasar adalah sosok yang sudah berada di puncak intelektualisme, spritualisme, dan laku sufisme. Kira-kira, dugaan saya kesanalah arah gerak dan program Kementerian Agama yang akan Pak Nasar pimpin.
Perilaku “ke-Allah-an”
Salah satu hal yang menarik dari isi pidato Pak Nasar adalah target capaian Kementrian Agama. Bahwa kedepan, Kementerian Agama tidak mentargetkan Kementerian Agama mendapatkan penghargaan atau mendapatkan “bintang”, tidak. Tetapi, target Kementerian Agama kedepan adalah bagaimana umat beragama tidak berjarak dengan agamanya. Bagaimana tolok ukurnya? Ukurannya adalah sejauh mana umat beragama menghayati dan mengamalkan agamanya–keluasan dan kedalaman ajaran agama adalah kunci penyelesaian permasalahan-permasalahan sosial, seperti teroris, misalnya.
Umat beragama tidak berjarak dengan agamanya. Kata tidak berjarak, ini sangat menarik bagi saya. Meskipun, Pak Nasar sudah mengelaborasi ketidakberjarakan umat beragama dengan agamanya melalui pendekatan teologis-sufisme, bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat feminis 80%, sedangkan 20% sifat-sifat maskulin. Di Islam, kepribadian Allah yang ada di Asmaul Husna pun demikian, umat Islam seharusnya memiliki sifat-sifat feminis ketimbang maskulin. Apa yang disampaikan oleh Pak Nasar tersebut adalah sebuah pendekatan menghadirkan kepribadian kelembutan dan kasih sayang, daripada beragama tetapi melahirkan kekerasan. Pak Nasar sepertinya menginginkan agar orang-orang yang berada Kementerian Agama adalah orang-orang yang berparadigma esoterika—bereligiusitas dan menekankan kemanusiaan.
Kata tidak berjarak, bisa kita maknai berjarak, tetapi berjarak 0. Dalam perspektif Psikologi Lingkungan, misalnya, ada teori tentang Personal Space (ruang personal) yang bisa didefinisikan sebagai ruang diri seseorang yang berdekatan dengan diri sendiri, namun batasan antara seseorang dengan diri orang lain tersebut tidak jelas.
Ada 4 lapisan personal space menurut Edward T. Hall (1966), yaitu jarak intim (0 – 0,5 meter), jarak personal (0,5 – 1,3 meter), jarak sosial (1,3 – 4 meter), dan jarak publik (4 – 8 meter). Jika, kita mengandaikan target Kementerian Agama adaah agar umat beragama tidak berjarak dengan agamanya, maka, tidak berjarak yang berarti berjarak 0, dengan demikian dalam perspektif teori personal space ada di lapisan jarak intim. Bahwa, melalui penghayatan keagamaan seseorang akan mendapatkan keluasan dan kedalaman dalam beragama sehingga seseorang tersebut berada di spektrum keintiman–intim dengan Tuhan, intim dengan kenabian, dan intim dengan kemanusiaan.
Kembali, tidak berjarak atau jarak 0 memiliki fenomena psikologis yang menarik. Apa itu? Salah satu fenomena psikologis dari ketidakberjarakan atau jarak 0 adalah seseorang justru sering melupakan hal-hal yang dekat atau paling dekat dengan dirinya. Kok bisa? Analoginya begini:
Siapakah orang-orang terdekat bagi seorang anak? Maka, permisalan jawaban urutannya paling tidak adalah orang tua, teman, guru, anggota keluarga besar, dan tetangga dekat. Bukankah, semakin dekat semestinya semakin mengerti dan memahami orang-orang terdekatnya? Namun, ada fakta fenomenologi psikologis lain yaitu seseorang tidak mengerti dan memahami orang-orang terdekatnya. Orang tua tidak mengerti dan tidak memahami anak-anaknya dengan baik, misalnya. Atau contoh lainnya adalah pasangan suami dan istri justru tidak saling mengerti dan tidak saling memahami.
Seseorang, seringnya, menghayati apa-apa atau hal-hal yang ada di luar dirinya. Bahkan jauh di luar sana. Seseorang, terlupakan untuk menghayati apa-apa dan hal-hal terdekatnya. Orang tua lupa menghayati anak-anak, atau sebaliknya anak-anak tidak melakukan penghayatan tentang orangtuanya. Pasangan suami dan istri pun demikian, tidak saling melakukan penghayatan. Maka, temuan saya sementara adalah seseorang atau kita seringnya justru melupakan orang-orang terdekat–dekat secara fisik, iya, berjarak 0, iya, tetapi keintiman tidak terjadi.
Lalu, siapakah sesungguhnya yang paling terdekat dan tidak berjarak dengan diri kita sendiri? Jawabannya adalah diri kita sendiri. Sayangnya, justru diri kita lupa diri, lupa menghayati diri. Maka, sudah benar apabila diri tidak mendapatkan keluasan dan kedalaman tentang dirinya sendiri. Padahal, ada sebuah ungkapan “man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu”, kita tidak mengenal Tuhan kita masing-masing disebabkan kita tidak mengenali dengan baik siapakah diri kita.
Lagi, bagaimana nasib keintiman kita dengan Tuhan? Padahal, harapannya keintiman umat beragama dengan Tuhan dapat mewujud kepada perilaku ke-Tuhan-an. Sementara, di Al Qur’an Surat Qaf ayat 16 tertulis “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri”. Lebih dekat daripada urat leher, bukankah ini tidak berjarak? Bukankah lebih dekat daripada urat leher bisa berarti berjarak 0 dengan diri? Bukankah dengan demikian berada di kemanunggalan? Tetapi, mengapa saya seringnya melupakan Tuhan. Perilaku saya menjauhi perilaku ke-Allah-an.
Baca tulisan menarik lainnya di Dedikasi.id!
Penulis : Sunarno (Dosen Psikologi IAIN Kediri dan Pembina LPM Dedikasi)