Site icon DẽDIKASI.ID

Bersembunyi di Balik Feminisme

Bersembunyi di balik feminisme. (Ilustrasi: Dedikasi)

Bersembunyi di balik feminisme. (Ilustrasi: Dedikasi)

“Saya tidak pernah melarang perempuan dalam memilih jalan hidup dan gaya hidupnya, tetapi saya melarang jika feminisme dijadikan alasan dalam pilihannya.”

– Faradilla N. Aulia

(DEDIKASI.ID) – Istilah feminisme saat ini sering kali dijadikan sebagai bahan diskusi oleh beberapa kelompok, baik di kalangan masyarakat umum ataupun pelajar. Ideologi feminisme muncul karena adanya ketimpangan relasi antara wanita dan pria dalam tatanan masyarakat, sehingga timbul kesadaran dan upaya untuk menghilangkan ketimpangan relasi tersebut.

Pada abad ke-14, sebenarnya sudah banyak penulis dan ahli yang memberikan pemikirannya terkait feminisme, seperti Judith Butler, Wolstoncraft, Simone de Beauvoir, John Stuart Mill, Karl Marx, Mao Se Tung, Michael Foucault, dan Sigmund Freud. Pemikiran mereka menggambarkan terkait “keperempuanan” yang terdapat di lingkungannya. Sehingga, perdebatan terkait posisi perempuan, seperti perlakuan perempuan di tengah-tengah konstelasi politik dan sosial masih berlangsung hingga puncak paruh kedua abad-20, di mana adanya pergeseran dari isu-isu tersebut dari ranah alami ke budaya, domestik ke publik, rumah tangga ke pabrik.

Isu-isu keperempuanan berkembang seperti menuntut hak perempuan dalam politik, hak mendapatkan perlindungan dalam ketetapan negara secara hukum (undang-undang), dan mendapatkan hak sepenuhnya untuk memiliki dan memerdekakan tubuhnya sendiri.

Baca juga

Perdebatan terkait feminisme saat ini tak kunjung berhenti. Beberapa orang menyalahpahami feminisme melulu sebagai tuntutan emansipasi kaum perempuan. Padahal, sebenarnya feminisme mengacu kepada gerakan sosial yang dilakukan oleh siapapun, baik laki-laki atau perempuan untuk memperjuangkan kedudukan dan peran wanita serta hak-hak yang dimiliki oleh perempuan secara adil.

Hingga pada akhirnya, banyak istilah baru yang muncul sebagai label gerakan perempuan yang terkait dengan feminisme, seperti equal right’s movement yang bisa diartikan sebagai gerakan untuk memperjuangkan persamaan hak. Istilah lain yang membawa tujuan membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik seperti lingkungan keluarga atau rumah tangga disebut women’s liberation movement atau disingkat women’s lib, yaitu pembebasan wanita. Sederhananya, feminisme ini muncul karena implementasi dari kesadaran yang muncul sebagai upaya menumbuhkan keadilan gender dalam hak asasi manusia (HAM).

Hakikat perempuan sampai kapanpun ialah bagian dari masyarakat yang harus diakui kedudukan dan martabatnya. Mereka memiliki hak hidup, hak kebebasan, dan hak kebahagiaan.

Perempuan dan hak hidup artinya perempuan memiliki kekuasaan atas keinginannya dalam hidup dan memiliki hak hidup yang sepantasnya ia hidup di dunia untuk mencapai segala tujuan dan kepuasan dalam dirinya. Dalam hak kebebasan, perempuan memiliki hak bebas dalam memilih, kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya tanpa dikaitkan oleh keputusan orang lain. Terakhir, perempuan dan hak kebahagiaan. Dalam memiliki hak hidup dan hak kebebasan, maka perempuan sudah pasti harus mendapatkan hak kebahagiaan untuk terus bertahan hidup, perempuan layak untuk bahagia atas keputusan dan keinginan mereka dalam hidup.

“Tidak sedikit kaum hawa yang melabeli dirinya sebagai seorang feminis, tetapi hanya menjadi identitas buta untuk menutupi jati dirinya.”

– Faradilla N. Aulia

Kontemporer menjadi acuan ketidakakuratan feminis dengan aksi aktual mereka. Berstandar dalam ekstensi, tetapi melupa dalam tanggung jawab sebagai feminis. Tidak sedikit kaum hawa yang melabeli dirinya sebagai seorang feminis, tetapi hanya menjadi identitas buta untuk menutupi jati dirinya. Sederhananya, istilah ‘feminis’ digunakan sebagai validasi hidup mereka. Perempuan yang memiliki gaya hidup bebas, seperti bebas dalam memilih sebagai seorang perokok dan peminum, bebas dalam bergaul, bebas dalam bergaya hidup, berpakaian terbuka, memiliki pandangan bahwa aurat laki-laki sama dengan aurat wanita, dan memiliki kebebasan dalam menentukan hidupnya yang berjalan jauh dari aturan perilaku sosial masyarakat.

Semua kebebasan dalam perempuan harusnya masuk kedalam hak kebebasan sehingga akan berlanjut ke hak kebahagiaan yang dia peroleh. Hanya saja, sangat disayangkan ketika dia diberi pertanyaan, “Mengapa kamu hidup seperti itu?”, ia menjawab “Karena aku feminis, bebas dong dalam menentukan jalan hidupku.”

Aneh, bukan?

Padahal, tidak semudah itu untuk mendalami ideologi feminisme. Saya tekankan lagi, feminisme bukan jabatan atau julukan, bukan sebagai identitas, tetapi paham atas dasar istilah. Feminisme bukan sebagai pelindung atas kepentingan pribadi, tetapi melindungi atas kepentingan bersama untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.

Jika dikaitkan dengan hakikat feminisme, seorang feminis harus rela dan ikhlas berkorban untuk melakukan gerakan sosial dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan hak perempuan yang hilang. Seorang feminis memiliki kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya tanpa campur tangan keputusan orang lain, tetapi harus ada tanggung jawab atas dirinya sebagai feminis. Bukan mengaku seolah-olah dirinya feminis karena dirinya sudah bebas dalam menentukan kehidupannya, tetapi tidak ada gerakan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan mencapai kesetaraan gender di ranah politik, ekonomi, dan sosial.

“Feminis jaman now kaya modelan anak alter di twi*ter”

“Feminis jaman now malu-maluin”

Seringkali komentar seperti itu saya temukan, baik di real life maupun di sosial media. Ternyata mereka juga memiliki alasan dalam berkomentar seperti itu. Apapun alasannya, saya bisa terima.

Banyak sekali yang sedikit-sedikit menyinggung terkait feminisme hingga melupa mana feminisme dan mana perempuan independen. Semua perempuan yang memiliki kebebasan dalam memilih selalu dijuluki ‘feminis’ atau mengatasnamakan dirinya sebagai feminis karena sudah ‘bebas’.

Ilustrasi: Magdalene

Tidak sekali, dua kali, atau tiga kali, saya bertemu dengan perempuan yang seperti itu. Saya tidak pernah melarang perempuan dalam memilih jalan hidup dan gaya hidupnya, tetapi saya melarang jika feminisme dijadikan alasan dalam pilihannya.

“Mengapa anda melakukan hal ini? Mengapa anda memilih jalan hidup seperti ini? Mengapa anda hidup terlalu bebas? Mengapa anda tidak berkerudung? Mengapa anda tidak mau menikah? Mengapa anda tidak ingin memiliki anak? Mengapa anda ingin memiliki anak banyak? Mengapa anda memilih menjadi wanita berkarir? Mengapa anda memilih menjadi ibu rumah tangga saja?”

Pertanyaan ini sudah tidak asing melayang di telinga para perempuan yang telah memilih jalan hidupnya. Apapun pilihan seorang perempuan, walaupun tidak sesuai di mata kita, maka sebagai seorang manusia, hargai pilihan perempuan untuk menentukan jalan hidupnya. Sebab, yang harus digarisbawahi adalah pilihlah jalan hidupmu karena kamu mau, asal ada alasan dalam pilihanmu.

Sederhananya, feminisme ada untuk melawan kebodohan, bukan memelihara kebodohan yang bersembunyi dengan alasan tidak masuk akal. Feminisme ada untuk memperjuangkan hak-hak prempuan yang hilang dan memperjuangkan kesetaraan gender.

Perlu saya tekankan bahwa feminisme bukan ‘alat’ dalam kebebasan seorang perempuan. Apapun pilihannya, pastilah memiliki alasan yang didasari oleh situasi kehidupan. Sebab, feminisme bukan alasan untuk memilih jalan hidup.

Baca tulisan menarik lainnya di Dedikasi.id

Penulis: Faradilla N. Aulia

Editor: Finda

Exit mobile version