(DEDIKASI.ID) – Menteri Agama Republik Indonesia Prof. Nasaruddin Umar memberikan arahan di Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA), 2 Desember 2024. Arahan Pak Nasar tersebut bagi saya sebagai pengingat (pengeling-eling) kepada seluruh pejabat dan pegawai ASN di bawah lembaga-lembaga Kementerian Agama RI. Beberapa pengingat Pak Nasar yang bagi saya menarik adalah: Pertama, “betapa besar peranan Kementerian Agama ini. Tetapi, kalau Kementerian Agama berhasil, maka pasti, yang menikmati adalah Indonesia”. Kedua, Pak Nasar memberikan contoh perilaku korupsi dengan pembangunan jembatan dan bangunan lainnya, “apabila ada jembatan roboh sebelum waktunya. Apabila ada bangunan ambruk sebelum waktunya, itu ada kansnya Kementerian Agama ikut gagal di tempat itu. Kenapa? Karena kita gagal memberikan pencerahan terhadap warga bangsa Indonesia”. Ketiga, Pak Nasar mengingatkan betapa pentingnya menghilangkan gratifikasi di Kementerian Agama. “salah satu gratifikasi adalah uang. Termasuk didalamnya amplop, ini yang umumnya dilakukan. Tapi Insyaallah, Kementerian Agama akan kita ubah, mencegah gratifikasi uang ini, amplop ini, dengan cara melaksanakan digitalisasi sistem, cashless, tidak ada lagi uang cash beredar di Kementerian Agama. Kedua adalah gratifikasi barang. Kemudian ada janji promosi jabatan. Siapa yang berani bayar sekian, pasti jabatannya pasti akan diusahakan dipromisi. Termasuk gratifikasi, anak bosnya itu diberikan beasiswa, atau pimpinan itu diberikan beasiswa”.
Pengingat (pengeling-eling) Pak Nasar tersebut menjadi peneguhan komitmen Kementerian Agama untuk merubah perilaku korupsi dalam bentuk apapun. Pak Nasar mengajak siapapun, baik kepada para pejabat dan pegawai ASN Kementerian Agama dari level pusat sampai dengan daerah dan lembaga-lembaga apapun di Kementerian Agama untuk memiliki integritas. Intergritas yang ditunjukkan dengan perilaku anti korupsi, bagi Pak Nasar, sepertinya mutlak harus diwujudkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di Kementerian Agama.
Kata “agama” di Kementerian Agama, sepertinya, bagi Pak Nasar menjadikan beban dan tanggungjawab besar untuk mewujudkan integritas—satunya pikiran, perasaan, kata, perbuatan dengan ajaran-ajaran agama. Pak Nasar, sepertinya dengan sungguh-sungguh tidak menginginkan adanya jarak antara agama dengan pemeluk agama. Logika terbaliknya adalah apabila para pejabat dan pegawai ASN di Kementerian Agama berperilaku korupsi dan jauh dari integritas, maka, Pak Nasar merasa takut apabila pemeluk agama atau masyarakat luas justru berjarak dengan agamanya. Kesanalah pemikiran Pak Nasar dari ungkapan arahan “betapa besar peranan Kementerian Agama ini. Tetapi, kalau Kementerian Agama berhasil, maka pasti, yang menikmati adalah Indonesia”, pun sebaliknya, demikian kira-kira.
Anti Salam Tempel
Salam tempel, memang, sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia. Salam tempel memiliki arti salaman (salam), dan menyelipkan amplop berisi uang (tempel). Secara bebas salam tempel dapat diartikan seseorang memberi amplop berisi uang dengan sembunyi (karena diselipkan) kepada orang lain pada saat salaman.
Salam tempel dalam konteks hubungan sosial kemasyarakatan diluar kehidupan lembaga kenegaraan adalah sah-sah saja. Sebab, yang berlaku adalah hukum sosial kemasyarakatan. Tetapi, ketika dalam konteks lembaga Negara, maka, perilaku orang-orang yang ada disebuah lembaga Negara harus mentaati dan patuh kepada aturan-aturan hukum Negara. Salah satunya adalah tidak korupsi dalam bentuk apapun, termasuk gratifikasi salam tempel.
Perilaku korupsi yang melanggar hukum Negara dan berlaku bagi para pejabat dan pegawai ASN di lembaga-lembaga Negara pun memiliki definisi tersendiri yang tidak berlaku bagi kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari. Misalnya, panitia pengajian memberikan salam tempel kepada penceramah, memberikan salam tempel pada saat lebaran kepada saudara dan keluarga besar, memberikan salam tempel kepada Kasepuhan (Kyai, Ustadz, Wong Tuwa)—tidak berlaku hukum atau perundang-undangan terkait korupsi yang berlaku di Negara Indonesia ini.
Praktik korupsi, melalui tulisan Seymour Martin Lipset dan Gabriel Salman Lenz tentang Corruption, Culture, and Markets yang ada didalam buku Culture Matters How Values Shape Human Progress yang dieditori oleh Harrison dan Huntington (2000) ternyata melintasi sejarah peradaban, mulai dari Mesir kuno, Israel, Roma, dan Yunani hingga saat ini. Perilaku korupsi juga ada disistem diktator dan demokratis, baik kebijakan ekonomi feodal, kapitalis, dan sosialis. Bahkan, perilaku korupsi ada di budaya dan institusi keagamaan apapun—Kristen, Muslim, Hindu, dan Budha, semuanya pernah mengalami korupsi. Meskipun, tentu saja tidak dalam jumlah yang sama.
Korupsi yang melintasi sejarah peradaban, sistem, budaya dan institusi keagamaan tersebut seolah memberikan atribusi kepada perilaku korupsi—betapa kuat daya dorong perilaku korupsi kepada manusia. Seolah, manusia di zaman apapun, dengan sistem apa saja, budaya dan agama apapun yang dimiliki—dorongan perilaku korupsi bisa menjebol ketahanan diri seseorang untuk bertindak korupsi. Tidak mengherankan apabila di Negara ini korupsi dijadikan sebagai extraordinary crime, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa.
Saya, sebagai pribadi, warga Negara, dan wong cilik, selalu mengikuti pemberitaan perilaku korupsi yang dilakukan oleh para pejabat dan para pegawai ASN di Negara ini. Saking judeg (membatin), “kok bisa tidak rampung-rampung ya mengurusi korupsi”. Sejak kekuasaan orde baru yang puncaknya di tahun 1998 Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Kemudian, di tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri membentuk lembaga khusus untuk pemberantasan korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia. Sejak KPK berdiri, seolah, justru pemberitaan tentang kasus korupsi menjadi-jadi. Para koruptor silih berganti tertangkap dan harus mengenakan baju orange miliknya KPK.
Mengapa perilaku korupsi justru menjadi-jadi? Saya membayangkan, para koruptor adalah tikus yang sedang ada di lahan sawah padi, perilaku korupsi adalah memakan padi-padi yang ada di lahan sawah tersebut. Sebelum Paman Tani memberikan jebakan atau memberikan obat-obatan anti tikus, yang terjadi adalah tiba-tiba padi-padi di sawah habis dimakan pasukan tikus. Jadi, “tahu-tahu”, “tiba-tiba” padi di sawah habis karena dimakan para tikus, dan tikus-tikus itu tetap hidup, selamat—bangkrut besar Paman Tani karena gagal panen. Tetapi, sejak Paman Tani menggunakan berbagai alat untuk menangkap pasukan tikus, pun obat-obatan anti tikus, apa yang terjadi? Banyak tikus tertangkap alat jebakan, tikus-tikus bergelimpangan klenger, mati. Paman Tani bisa panen padi, meskipun tidak bisa berlimpah karena masih ada sebagian yang diserang oleh pasukan tikus.
Mengapa pasukan tikus perlu diberantas? Dan mengapa sudah diupayakan pemberantasannya tetap saja para tikus datang ke sawah untuk memakan padi-padi yang susah payah ditanam, dipupuk, dan dirawat oleh Paman Tani? Dua hal tersebut menurut saya menarik untuk dikaji.
Dampak buruk dari korupsi adalah alasan jawaban atas pertanyaan mengapa korupsi perlu diberantas? Dari tulisan Corruption, Culture, and Markets yang ada didalam buku Culture Matters How Values Shape Human Progress (Harrison & Huntington, 2000) sangat jelas diuraikan dampak buruk korupsi dibeberapa aspek—ekonomi, pendidikan, pembangunan infrastruktur, ketimpangan pendapatan, bahkan kesehatan.
Penelitian menunjukkan bahwa ketika tingkat korupsi disebuah Negara semakin tinggi, secara signifikan mengurangi tingkat pertumbuhan Gross National Product (GNP). Dampak lain di aspek pertumbuhan ekonomi adalah berkurangnya investasi. Korupsi menjadi resiko negatif investasi bagi para investor. Korupsi juga mengganggu terlaksananya program peningkatan kualitas pendidikan. Dalam hal dampak korupsi terhadap pendidikan terdapat sebuah penelitian menunjukkan bahwa apabila pemerintah terjangkit korupsi, maka, anggaran pengembangan kualitas dan fasilitas pendidikan menjadi tidak semestinya. Di aspek pembangunan infrastruktur pun demikian, bangunan jalan, jembatan, bandara, dan lain-lain adalah jelmaan bangunan-bangunan tipuan.
Dampak buruk lain dari korupsi adalah ketimpangan pendapatan. Sebuah studi lintas Negara menemukan hubungan yang kuat antara korupsi terhadap ketimpangan pendapatan, dan dengan demikian berdampak kemiskinan. Semakin meningkat praktik korupsi suatu Negara, maka, ketimpangan pendapatan juga semakin lebih besar. Peningkatan angka korupsi sebesar 0,78 dikaitkan dengan penurunan drastis tingkat pertumbuhan pendapatan masyarakat miskin sebesar 7,8 poin persentase per tahun.
Agama, Budaya, dan Korupsi (?)
Agama, dalam konteks ilmu sosial merupakan salah satu penentu variasi budaya. Sementara, banyak penelitian menunjukkan bahwa budaya sebagai variabel yang membantu menjelaskan bahkan membantu memprediksi tingkat korupsi disebuah Negara. Realitas lain dari agama bagi wilayah Timur termasuk di Indonesia adalah bahwa agama tidak hanya berada diurusan privat, tetapi, agama masuk ke ruang-ruang publik, agama terlibat dipermasalahan-permasalahan sosial.
Lalu, bagaimana dengan budaya? Bagaimana budaya disebuah Negara menjelaskan sebab berkembangnya perilaku korupsi dan bagaimana budaya mampu merubah perilaku tersebut?
Bagaimana agama dan budaya menjelaskan, misalnya, di Negara tertentu yang dominan agama tertentu tingkat korupsinya rendah dibandingkan dengan Negara lain yang dominan agamanya sama atau dominan agama berbeda?
Etos apa saja yang diajarkan oleh agama-agama sehingga etos tersebut memperkuat perilaku korupsi, atau etos yang mencegah perilaku korupsi?
Apakah doktrin yang ada di agama tertentu mempengaruhi perilaku korupsi?
Kalau anti korupsi dijadikan sebagai salah satu tujuan capaian prestasi. Sebab, ketika korupsi rendah, maka, berbagai program pembangunan ekonomi, pendidikan berkualitas, kesehatan terjamin, pendapatan masyarakat meningkat sehingga kemiskinan teratasi, dan pembangunan infrastruktur berkualitas dan berkuantitas signifikan—maka, pertanyaannya adalah apakah agama-agama yang ada dan budaya disebuah Negara berorientasi kepada prestasi?
Apakah agama dominan disebuah Negara yang tingkat korupsinya tinggi berarti agama tersebut kurang berorientasi kepada prestasi?
Baca tulisan menarik lainnya di Dedikasi.id!
Penulis : Sunarno (Dosen Psikologi IAIN Kediri dan Pembina LPM Dedikasi)