Site icon DẽDIKASI.ID

Pesan Perdamaian dari Tepi Sungai Brantas

Kelenteng Tjoe Hwie Kiong Kota Kediri

Mengapa masyarakat Kota Kediri mampu menghidupkan toleransi? Bagaimana warga merawat perbedaan dan menjadikannya sebagai harmoni sampai hari ini, meski daerah Jawa Timur lainnya menghadapi tantangan intoleransi.

dedikasi.id – Pada saat wilayah-wilayah lain mencuat diskriminasi dan intoleransi, bahkan di masa pandemi seperti pelarangan ibadah umat Kristen terjadi di Mojokerto dan rumah doa Gereja Sidang Jemaah Allah (GSJA) Nganjuk, justru Kota Kediri diganjar sepuluh besar Indeks Kota Toleran (IKT) 2020 versi SETARA Institute.

Pernah terjadi pada beberapa daerah seperti Lamongan, Surabaya, Malang, serta daerah Jawa Timur lainnya yang menjadi sasaran teror, tempat tinggal para pelaku teror atau ekstremisme dengan kekerasan. Namun sebaliknya, di Kediri Raya tetap aman dan damai. Simbol dan praktik perdamaian di Kota Kediri tersebut salah satunya hidup di Kelenteng Tjoe Hwie Kiong.

“Di sini toleransinya bagus, Mas. Agama apapun di sini diterima kok,” ujar Yuni kepada kru Dedikasi ketika menceritakan hubungan antaragama dan interaksi keberagaman di sekitar rumahnya (25/3).

Yuni adalah seorang penduduk di Kelurahan Pakelan Gang 6 yang sejak kecil sudah tinggal di wilayah yang sama dengan Kelenteng Tjoe Hwie Kiong. Ibu dari dua anak ini mencoba menegaskan bahwa semua agama diterima dengan baik di kotanya.

Ia pun bersemangat menceritakan pengalamannya yang sejak kecil sering menyaksikan dan ikut serta dalam kegiatan di Kelenteng Tjoe Hwie Kiong. Biasanya, kelenteng mengadakan sembahyang “rebutan” yang dilanjutkan dengan pembagian sembako untuk warga sekitar yang berbondong hadir.

Sembahyang rebutan atau Festival Hantu adalah sebuah tradisi persembahan dalam kebudayaan Tionghoa yang jatuh pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan Imlek. Persembahan tersebut katanya akan diperebutkan oleh para roh atau arwah yang kelaparan, tetapi dalam pelaksanaannya, usai sembahyang semua makanan yang ada diperebutkan oleh para pengunjung dari berbagai etnis dan agama.

“Namun, setelah adanya pandemi, kegiatan-kegiatan Imlek dan sembahyang rebutan ditiadakan,” papar perempuan berusia 40 tahun ini di sela-sela kegiatannya di rumah.

Saat menyusuri jalan menuju kelenteng, banyak toko-toko yang menjual makanan khas Kediri yakni tahu taqwa hingga di ujung Jalan Yos Sudarso, pandangan mata akan tertuju pada bangunan tepat di tikungan pertama, berdiri kelenteng yang gagah di tengah kebisingan lalu lintas pada salah satu jalan utama. Sayangnya, dampak pandemi masih terasa pada bangunan berwarna merah terang di tepi Sungai Brantas tersebut.

Kelenteng yang terletak di Jl. Yos Sudarso No 148 Kediri, Provinsi Jawa Timur itu sudah ada sejak tahun 1817 M. Artinya, terhitung sampai dengan tahun ini kelenteng tersebut telah berumur 204 tahun, sehingga tepat jika dimasukkan menjadi bagian dari cagar budaya di Kota Kediri.

“Menurut data yang di cagar budaya, itu didirikan pada tahun 1817,” jelas Prayitno Sutikno, Ketua Yayasan Tri Dharma Tjoe Hwie Kiong Kediri.

Sementara itu, dilansir dari website Kelurahan Pakelan (https://kel-pakelan.kedirikota.go.id), Kelenteng Tjoe Hwie Kiong dibangun pada tahun 1895 dengan dana swadaya dari warga Tionghoa yang sudah bermukim di Kediri. Dahulu banyak orang dari Fujian, Tiongkok, yang datang ke berbagai wilayah di dunia, diantaranya ada yang datang ke Kediri melalui Sungai Brantas.

Kelenteng Tjoe Hwie Kiong merupakan satu-satunya kelenteng di Kota Kediri. Selain digunakan untuk wisata, kelenteng tersebut juga masih digunakan untuk ibadah umat Tri Dharma, yaitu Tao, Budha, dan Konghucu. Mereka yang datang beribadah bukan hanya dari Kota Kediri saja, melainkan juga datang dari luar, seperti Kabupaten Kediri.

“Umat kita itu, tidak hanya di Kota kediri, tapi dari Kabupaten Kediri dan ada yang dari luar kota juga,” ujar Prayitno ketika bercerita tentang sejarah Kelenteng Tjoe Hwie Kiong.

Biasanya kelenteng ramai dikunjungi wisatawan dan umat yang hendak beribadah. Namun berbeda dengan satu tahun terakhir, Kelenteng Tjoe Hwie Kiong sepi pengunjung dan beberapa kegiatannya ditiadakan.

Pihak kelenteng tak jarang menjalin komunikasi dengan pemuka agama dan aliran kepercayaan di Kota Kediri. Setiap Hari Raya Idul Fitri, pihak kelenteng akan sowan ke pondok pesantren dan kiai di sekitar Kota dan Kabupaten Kediri, seperti Pondok Pesantren Lirboyo, Kedunglo (Wahidiyah), LDII dan Gus War (Kiai Anwar Iskandar). Ketika Perayaan Natal, pihak kelenteng juga hadir ke gereja di Kota Kediri.

“Di balai kota kita ikut bergabung untuk mengucapkan selamat Natal,” ucap pria itu di kantornya saat ditemui kru Dedikasi (23/3) untuk menceritakan kegiatan akhir tahun yang diikuti Kelenteng di Kota Kediri sebagai komitmen bersama dalam menciptakan iklim yang damai.

Upaya merawat keberagaman antar agama juga dilakukan Kelenteng Tjoe Hwie Kiong dengan terlibat aktif dalam Forum Kerukunan antar Umat Beragama (FKUB) dan Forum Kerukunan antar Umat Beragama dan Penghayat Kepercayaan (FKUB-PK). Di kalangan pemuda juga dibentuk Paguyuban Lintas Masyarakat.

Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut, kurang lebih 200-an tahun sejak Kelenteng Tjoe Hwie Kiong berdiri, hubungan dengan masyarakat sekitar dapat terjalin dengan harmonis. SETARA Institute pun menempatkan Kota Kediri di posisi ke-8 Indeks Kota Toleran (IKT) 2020 dan menjadi dua kota “pendatang baru” di posisi 10 besar kota dengan tingkat toleransi yang tinggi.

“Kita dengan teman-teman, dengan umat agama lain, tokoh agama lain, selalu mengadakan silaturahmi. Kalau ada permasalahan seperti SARA di kota-kota lain kita juga bertemu untuk mengatasi itu,” ujarnya memaparkan upaya-upaya berbagai elemen masyarakat Kota Kediri dalam membangun harmoni dan mengantisipasi dengan tepat isu-isu intoleransi yang terjadi di wilayah lain agar tidak masuk ke wilayah mereka.

Pernyataan tersebut juga dikuatkan oleh Nur, penarik becak yang sudah bekerja mengayuh becak melewati depan kelenteng sejak tahun 1980. Menurut Nur, keadaan sekitar klenteng selalu kondusif, bahkan saat di kota lain sedang ribut-ribut seputar konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

“Wah aman saja, Kediri aman. Apalagi area kelenteng ini,” jawab pria berusia 63 tahun yang tetap menarik becak dengan alasan untuk mengisi waktu luang.

Hubungan baik kelenteng dengan warga masyarakat sekitar dan umat beragama lain, khususnya di Kota Kediri dan sekitarnya, diharapkan terus dijaga dan ditingkatkan. Hal tersebut menjadi harapan kuat Prayitno yang tengah berkantor di Kelenteng Tjoe Hwie Kiong untuk memperkuat keberagaman agar suasana harmoni penuh damai senantiasa menaungi Kediri.

“Hubungan baik yang sudah terjalin, ya kita jaga, kita tingkatkan,” tegas Prayitno menutup percakapan siang itu.

Baca juga artikel terkait Features atau tulisan menarik lain di dedikasi.id

(dedikasi.id – Features)

Penulis: Achmad Syafi’i

Editor: Ela/Firnas

Exit mobile version